Tuesday, April 7, 2009

Jalan Terjal Bung Kecil


Jalan diplomasi rupanya bagi sebagian orang masih bisa menyisakan celah pincang. Bahkan dalam rentang sejarah bangsa ini, ada beberapa tokoh yang antipati dan menentang habis-habisan jalan atau cara-cara seperti itu. Sebut saja, salah satunya dan yang paling keras adalah Tan Malaka. Dalam skala besar mencapai kemerdekaan negeri ini, ia adalah sosok yang sangat anti pada cara-cara diplomasi, kooperatif atau jalan persuasif semacamnya. Mengenai jalan yang ditempuhnya itu, Tan telah menunjukkan dirinya sebagai tipikal manusia yang anti imperialisme murni. Ia pernah berujar: “Bangsa Indonesia yang sejati belum punya riwayat sendiri selain perbudakan.

Jejak Berdarah Sang Penakluk



Judul Buku : Jenghis Khan; Legenda Sang Penakluk dari Mongolia
Judul Asli : Genghis Khan; Life, Death and Resurrection
Penulis : John Man
Penerjemah : Kunti Saptoworini
Penerbit : Pustaka Alvabet, Tangerang
Cetakan : Pertama, November 2008
Tebal : 576 halaman

Lekra (Meng)gugat Sejarahnya


Judul Buku : Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Merakesumba, Jogjakarta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 584 halaman

Mengais Realitas dalam Novel Sejarah

Dewasa ini, begitu banyak novel bertemakan sejarah. Novel-novel tersebut tidak sulit kita dapatkan di deretan rak toko buku. Antara lain, novel serial Gajah Mada oleh Langit Kresna Hariadi (LKH), lima jilid yang tebalnya lumayan menguras pikiran. Lalu sebuah novel tentang sejarah kehidupan kongsi dagang zaman Hindia Belanda, VOC, berjudul Rahasia Meede; Misteri Harta Karun VOC, yang ditulis E.S. Ito. Tak ketinggalan novel Diponegoro-nya Remy Sylado, salah satu pengarang yang dikenal setia menekuni genre sejarah, yang sebelumnya sukses dengan duo novel berlatar belakang sejarah, Ca Bau Kan dan Parisj van Java.

Gerakan “Kama Sutra” Buku


Kapan kegiatan membaca dianggap sebagai suatu pekerjaan yang bergengsi, yang bukan sekadar untuk mengisi waktu luang saja. Dan orang yang tidak doyan membaca dianggap sebagai orang yang tidak gaul. Mungkin hal tersebut tidak akan jauh dari angan bila kebiasaan membaca, minimal menjadi ikon bangsa yang punya kehendak untuk maju ini. Realitanya, belum banyak orang yang sadar diri untuk segera mengintimi buku. Gairah membaca belum membudaya apalagi menjadi menu sehari-hari kita. Ah, betapa menyenangkannya andai prototipe sebagai bangsa literal melekat pada jati diri bangsa ini.