Thursday, December 13, 2012

Membebaskan Puisi


“... dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah
Chairil Anwar


Terkadang desakan ide-ide yang menyeruak ke dalam pikiran, sulit diungkap dalam bahasa; sukar sekadar dituang ke dalam kata-kata yang memang dianggap sebagai –salah satunya- piranti untuk menampung ungkapan pikiran dan perasaan manusia. Dan sepertinya, memang akan selalu ada hal-hal yang ingin sekali dituliskan, namun dengan sebab teknis maupun ontologis, kita tak begitu saja gampang mengungkapkannya. Searus dengan hal itu, adalah kata-kata Robert Frost: “Separuh dari dunia terdiri dari orang-orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi tidak bisa mengatakannya...”

Saturday, February 11, 2012

Berkebudayaan Melawan ala Nurani


(Semacam catatan pendamping untuk buku terbaru Nurani Soyomukti)
Oleh Misbahus Surur *


"Kita kalah, Ma. Kita telah melawan, Nak, Nyo,
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
(Pramudya Ananta Toer via Ontosoroh, di penghujung Bumi Manusia)

Seorang yang mendapati ”keinsyafan bathin”-nya sebagai hayawanun natiq kadang memang bermula dari proses panjang dialektika dirinya dengan –untuk meminjam bahasa yang kerap muncul dari mulut penulis asli Trenggalek, yang kumpulan esainya segera akan kita baca ini-, berbagai ”kontradiksi” alam juga realitas sosial di sekitarnya. Dan sudah selayaknya ihwal keinsyafan itu, tak hanya dipendam, melainkan terus diejawantah ke dalam bentuk-bentuk (cipta) kreatif dan konkret; menulis, mendidik, mengorganisir massa demi kerja kemanusian. Kegelisahan yang tersalur dalam tulisan itu, tidak serupa model keresahan manusia dalam beragama, yang biasanya kerap dipenuhi variabel: ”menggantungkan” (dependence) dan ”bertahan” (defend), akan tetapi diubah ke dalam aliran energi deras yang seolah tak terbendung. Ternyatakan dalam produk-produk yang konkret: meluberkannya dalam buku dan melawan.