Saturday, February 11, 2012

Berkebudayaan Melawan ala Nurani


(Semacam catatan pendamping untuk buku terbaru Nurani Soyomukti)
Oleh Misbahus Surur *


"Kita kalah, Ma. Kita telah melawan, Nak, Nyo,
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
(Pramudya Ananta Toer via Ontosoroh, di penghujung Bumi Manusia)

Seorang yang mendapati ”keinsyafan bathin”-nya sebagai hayawanun natiq kadang memang bermula dari proses panjang dialektika dirinya dengan –untuk meminjam bahasa yang kerap muncul dari mulut penulis asli Trenggalek, yang kumpulan esainya segera akan kita baca ini-, berbagai ”kontradiksi” alam juga realitas sosial di sekitarnya. Dan sudah selayaknya ihwal keinsyafan itu, tak hanya dipendam, melainkan terus diejawantah ke dalam bentuk-bentuk (cipta) kreatif dan konkret; menulis, mendidik, mengorganisir massa demi kerja kemanusian. Kegelisahan yang tersalur dalam tulisan itu, tidak serupa model keresahan manusia dalam beragama, yang biasanya kerap dipenuhi variabel: ”menggantungkan” (dependence) dan ”bertahan” (defend), akan tetapi diubah ke dalam aliran energi deras yang seolah tak terbendung. Ternyatakan dalam produk-produk yang konkret: meluberkannya dalam buku dan melawan.