tag:blogger.com,1999:blog-89029174922778844532024-02-19T08:45:44.081-08:00T R A C T U S (jejak selembar)yang selembar ini semoga tak keburu merangas, sebelum benar-benar mampu menghayat gurat(an) Tuhan; ihwal manusia & warna-warni kehidupan,Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-91815772360100083552012-12-13T11:26:00.002-08:002012-12-13T11:26:28.509-08:00Membebaskan Puisi<span></span><br />
“... <em>dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan</em>/ <em>sebelum pada akhirnya kita menyerah</em>”<br />
Chairil Anwar<br />
<br />
<br />
Terkadang
desakan ide-ide yang menyeruak ke dalam pikiran, sulit diungkap dalam
bahasa; sukar sekadar dituang ke dalam kata-kata yang memang dianggap
sebagai –salah satunya- piranti untuk menampung ungkapan pikiran dan
perasaan manusia. Dan sepertinya, memang akan selalu ada hal-hal yang
ingin sekali dituliskan, namun dengan sebab teknis maupun ontologis,
kita tak begitu saja gampang mengungkapkannya. Searus dengan hal itu,
adalah kata-kata Robert Frost: “Separuh dari dunia terdiri dari
orang-orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi tidak bisa
mengatakannya...”<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Sungguh, terpampang dilema (ber)bahasa
dalam ungkapan tersebut, antara niat berbahasa yang tak lagi ”ramah”
bagi kehendak merumahkan makna dan suara-suara. Sedang pada lain sisi,
juga betapa masih kentalnya desakan (kalau tak boleh dibilang beban)
pencarian pola ungkap melalui strategi jitu yang menggoda. Kasus
pertama adalah ikhtiar mengatasi bahasa yang hendak menaklukkan makna,
sementara yang kedua, lebih ke upaya merambah ”jalan lain” dalam
berbahasa.<br />
<br />
Pada mulanya manusia mengetahui lebih banyak dari yang bisa ia ucapkan. <em>We know more than we can say</em>, ungkap Michael Polanyi (<em>The Study of Man</em>, 1959). Bagi Polanyi, dari kenyataan yang hampir tak terbatas ini, sebagian kecil merupakan kenyataan yang diketahui (<em>the known reality</em>) oleh manusia, yang dapat melahirkan pengetahuan (<em>knowledge</em>). Meski porsi terbesar tetap merupakan pengetahuan yang belum terbahasakan (<em>pre-articulated knowledge</em>). Atau, hanya sebagian kecil saja yang telah menjadi pengetahuan terbahasakan (<em>articulated knowledge</em>).
Persoalannya, melalui seperangkat bahasa yang baku dan formal pun,
kita kerap terg(er)agap dan tak bisa mengungkap-tuliskan apa yang telah
tergambar atau terabstraksi dalam otak kita. Belum lagi ketika
realitas berhasil ditandai (terartikulasi), teknologi bahasa pada
gilirannya melulu siap mereduksi.<br />
<br />
Saat gagasan tak
tersampaikan dalam praktis bahasa, senyatanya gagasan (juga pengalaman)
akan tetap tinggal menjadi pengetahuan pribadi (<em>personal knowledge</em>)
tiap-tiap manusia yang bisa jadi tak terjamah. Di aras inilah sastra,
terutama melalui puisi, didorong kembali menunjukkan kemampuan
asalinya. Setidaknya, melalui suatu cara yang menyerpih dan kadang
melawan formalitas bahasa, ia berada dalam posisi dan karakteristik
ini: puisi dengan cara ungkap arkaik dan tak biasa, disinyalir sanggup
“membahasakan” apa yang kerap tak terbahasakan. Selain juga dapat
membikin model korespondensinya sendiri yang khas. Suatu korespondensi
yang bisa saja dibentuk misal, dari cara yang sederhana hingga yang
mewah. Dari yang romantik hingga simbolik. Dari model tutur lirik hingga
epik. Bahkan dari bahasa sadar hingga tak sadar.<br />
<br />
Ketika
standar bahasa normatif sering hanya mengungkap hal yang inderawi; apa
yang hanya mampu ditangkap indera. Tradisi puitik jamak tak hanya
piawai mengungkai yang inderawi, namun juga berusaha
menangkap-bahasakan apa yang kognisi dan intuisi. Pengetahuan manusia,
yang umumnya berangkat dari hasrat pengalaman pribadi, di dalam puisi
disuling sekaligus ditranformasikan melalui cara yang unik. Dan pada
tahap-tahap tertentu seolah menjauhi konsensus. Bahkan ia identik dengan
pola ungkap <em>parole</em>, untuk meminjam konsep kebahasaan Ferdinand de Saussure. Bahasa <em>parole</em>
ini sering ada dan dipunyai puisi. Wajar saja misalnya, bila kita temui
pengalaman bathin terartikulasi dalam tanda verbal, via puisi, sulit
kita raba dan cerna. Tapi ia bukan semata nomenklatur.<br />
<br />
<br />
<strong>Yang Diam, yang Puisi</strong><br />
<strong></strong><br />
Ketika
realitas terlalu rentan dan pelik diekspresikan dalam bahasa harafiah,
upaya penggambaran secara metaforis adalah sejumput jalan lain. Ludwig
Wittgenstein pernah menyinggung ihwal ini. “<em>What we can be said at all can be said clearly</em>, <em>and</em> <em>what we cannot speak about we must pass over in silence</em>”
(Apa yang memang dapat dikatakan katakan dengan jelas, dan apa yang
tidak dapat dikatakan, sebaiknya diam). Ya, bisa jadi melalui ranah
puisilah, sedikitnya, frasa ”<em>we must pass over in silence</em>” itu
mau menyibak tabirnya. Ungkapan Wittgenstein di atas, seolah menunjuk
dan mengafirmasi apa yang memang ”metarealitas” dalam bahasa. Maka,
luapan pengalaman religius, perasaan jatuh cinta, komunikasi dalam do’a,
-kalau boleh saya menduga beberapa di antaranya-, adalah
prototipe-prototipe artikulasi ini. Ya, varian bahasa yang kerap
tergulir hanya melalui ungkapan-ungkapan subjektif yang ekstrem dan
akut, semisal pada puisi.<br />
<br />
Betapa sering pula kita membaca
gagasan lewat analogi-analogi. Ini adalah cara artikulasi bagi ihwal,
katakanlah realitas, yang tak bisa atau pelik jika harus ditangkap
dalam kata-kata normatif. Dan analogi menjadi satu upaya yang niscaya
bagi penciptaan bahasa metafora, entah dalam bentuk aforisma, adagium,
penggalan kata atau ungkapan puitik lainnya. Nietzsche misalnya, tokoh
yang berpengaruh besar pada Heidegger ini memilih menuang gagasan
melalui aforisma, dengan alasan tak percaya lagi pada bentuk-bentuk
tulisan sistematis. Hal yang juga dilakukan Iqbal. Ia melihat
keterbatasan bentuk tulisan sistematis untuk mengikat gagasan. Hanya
saja Iqbal tak menolak tulisan sistematis, seperti kadang sebagian
tampak dalam filsafat. Tetapi melengkapi tulisan-tulisan itu dengan
puisi (St. Sunardi, <em>Nietzsche</em>, hlm 239). Dan jauh sebelumnya,
Plato juga menyimpan gagasannya dalam ungkapan metafora. Ide-ide Plato
yang banyak tertuang dalam dialog-dialog, padat dengan perumpamaan dan
metafora. Sesuatu yang juga banyak tersurat pada frasa-frasa pujangga
besar, Kahlil Gibran.<br />
<br />
Kita tahu, betapa sulit
mengungkapkan hal ideal atau perasaan ganjil lewat bahasa sehari-hari.
Di antara para filsuf, bahkan ada yang menganggap bahasa sehari-hari
kurang memadai, misalnya saja untuk berfilsafat. Bertrand Russell
menduga bahwa bahasa sehari-hari tak dapat digunakan untuk berfilsafat
karena sekian kelemahan; kabur, makna taksa, kata-kata kerap bergantung
pada konteks dan beberapa kelemahan yang lain. Problem filsafat kerap
muncul didasari atas terbatasnya bahasa sehari-hari serta menyimpangnya
penggunaan bahasa. Russell kemudian banyak membangun pikiran
filsafatnya dengan sintesa dan analisa. Baginya, struktur gramatikal
saja belum tentu menentukan struktur logis ungkapan bahasa (Kaelan,
1998: 97).<br />
<br />
Walhasil, gagasan yang ditangkup bahasa,
hakikatnya memang adalah akumulasi pengetahuan yang dulu cuma sempat
dipikirkan. Ia kemudian dibaku-bukukan dengan tetap merujuk dan
menunjuk pada entitas atau unsur di luar bahasa. Di dalam puisi, tentu
banyak tersimpan arketipe pengetahuan, nilai-nilai dan formula. Bahasa
sungguh punya peran menjaga secara turun temurun dengan berbagai
kekuatan metaforanya dalam literasi dan inskripsi. Bahkan darinya, tak
jarang terpendam ajaran dan pesan adiluhung, yang antara lain, berguna
untuk membendung bahasa yang bergulir semata jadi ”obyek pasar” atau
medium ”menjalankan modal.” Pendeknya, bahasa (puisi) selaiknya juga
bernyali melawan produk dan tipe bahasa ”klise” yang melulu terhasilkan
dari, -meminjam parafrase Frost dari sambungan kalimat di awal
paragrap esai ini-, “ ...orang-orang yang tidak punya apapun untuk
dikatakan, akan tetapi terus saja mengatakannya.”<br />
<br />
oleh<strong> Misbahus Surur, </strong>esais<br />
<br />
Terbit di <em><strong>Lampung Post</strong></em>, Minggu 12 Agustus 2012<br />
<br />
<span><u><span class="fbUnderline">Catatan</span>:</u> ini adalah embrio sebuah
tulisan yang awalnya berjudul "Membebaskan Puisi dari Tempurung
Bahasa", dan sebenarnya masih perlu saya lanjutkan, selamat membaca,
semoga berguna untuk pertumbuhan puisi</span> <br />
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-24285653272540163292012-02-11T11:19:00.000-08:002012-12-13T23:05:01.794-08:00Berkebudayaan Melawan ala Nurani<br />
(Semacam catatan pendamping untuk buku terbaru Nurani Soyomukti)<br />
Oleh Misbahus Surur *<br />
<br />
<br />
"<i>Kita kalah, Ma. Kita telah melawan, Nak, Nyo,</i><br />
<i>sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.</i>"<br />
(Pramudya Ananta Toer via Ontosoroh, di penghujung <i>Bumi Manusia</i>)<br />
<br />
Seorang yang mendapati ”keinsyafan bathin”-nya sebagai <i>hayawanun natiq</i>
kadang memang bermula dari proses panjang dialektika dirinya dengan
–untuk meminjam bahasa yang kerap muncul dari mulut penulis asli
Trenggalek, yang kumpulan esainya segera akan kita baca ini-, berbagai
”kontradiksi” alam juga realitas sosial di sekitarnya. Dan sudah
selayaknya ihwal keinsyafan itu, tak hanya dipendam, melainkan terus
diejawantah ke dalam bentuk-bentuk (cipta) kreatif dan konkret; menulis,
mendidik, mengorganisir massa demi kerja kemanusian. Kegelisahan yang
tersalur dalam tulisan itu, tidak serupa model keresahan manusia dalam
beragama, yang biasanya kerap dipenuhi variabel: ”menggantungkan” (<i>dependence</i>) dan ”bertahan” (<i>defend</i>),
akan tetapi diubah ke dalam aliran energi deras yang seolah tak
terbendung. Ternyatakan dalam produk-produk yang konkret: meluberkannya
dalam buku dan melawan.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Iman untuk melawan ini, terkadang
dipancarkan dengan bahasa yang malu-malu, meski kadang juga dengan
kalimat yang lugas dan cenderung apa adanya. Pada buku ini, bentuk
perlawanan itu dihembuskan dengan bara api yang menyala-nyala dengan
sokongan data-data juga realitas yang terjadi hari ini. Dengan bahasa
yang sangat mudah dicerna. Lagi pula jika merujuk pada apa yang pernah
dinyatakan Walter Benjamin, sangatlah pas juga. Konsep penulisan
selayaknya bersifat denotatif, terkait hubungannya dengan subjek kajian,
ungkap Benjamin. Pendapat seperti ini barangkali berangkat dari
keinginan untuk menjaga konsentrasi teks agar tidak keluar dari
tema-tema tertentu yang sangat penting, yang sedang hangat dibicarakan.
Esai-esai dalam buku ini setali tiga uang. Tulisan-tulisannya mengalir.
Katakanlah, menerjang apa yang memang pantas diterjang. Kita memang tak
sedang mendamba-damba sesuatu, selain olah perubahan. Perubahan yang
dilakukan tak hanya lewat ”isak”, tapi juga dengan kata-kata bijak (ala
penulis) yang membangkitkan gerak. Gerak yang ibarat angin dapat
mengibaskan api kebatilan guna menyibak tata hidup sosial yang lebih
terang.<br />
<br />
Buku ini merupakan sebentuk penyadaran diri
--meminjam sebutan E. Cassirer, untuk mereka yang bersetia hidup dengan
kata-kata- sang <i>animal symbolicum</i>, yang hidup dan dihidupi
serangkain tanda dan kata; literasi untuk mencapai pemenuhan aktualisasi
sekaligus untuk membendung ”yang kontradiksi”. Di sini, Nurani
Soyomukti tidak sedang main-main ketika menulis esai-esai panjang,
sebagai sekadar latah dan euforia. Tapi sebuah pengabdian pada tugas
kemanusian; hidup manusia dengan segala ketimpangan di dalamnya.
”Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”, kata Rendra. Lihat saja,
masyarakat kita saat ini sedang mengalami titik jenuh oleh berbagai
kontradiksi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan bagaimana pun,
kontradiksi-kontradiksi itu, tidak saja diarahkan oleh kebiasaan yang
mendarah daging; feodalisme, otoritarianisme, hegemoni, oportunisme,
pragmatisme melainkan juga rentang panjang kesejarahan; kesalahan
warisan masa silam yang sering direkayasa dan begitu saja kita terima.
Tema-tema relativitas, bahasa, sejarah, sastra, kerja kepengarangan,
psikoanalisis, hasrat, tubuh, erotisme hingga persoalan korupsi,
kebohongan publik dan seterusnya, di sini tetap punya tempat untuk
dikaji satu persatu. Tema-tema penting di atas, menjadi hal mendasar
untuk kembali didialogkan sekaligus disandingkan dengan kerja-kerja
kesenian dewasa ini. Sebab, kesenian bukan ruang kosong untuk
kreativitas yang kosong. Sebagaimaa sabda Tan Malaka, seni semestinya
menjadi bagian dari perbaikan. Seni bukanlah suatu barang yang
semata-mata hasil impian dan ketukangan seorang ahli. Pengaruh seni,
kata Tan, seyogyanya dapat memperbaiki masyarakat kembali. <i>Tak
pernah selesai pertarungan menjadi manusia/ tak pernah terurai
pertarungan menjadi rahasia/ adalah buku lapar arti/ tipis segera habis
diburu kubur-kubur waktu/ </i>.... <i>kata-kata pun ketagihan jiwa/ dalam sebuah buku lembar-lembar berguguran</i>, begitu sambung Wiji Tukul<i> </i>dalam sajak ”Otobiografi” (<i>Aku Ingin Jadi Peluru</i>, 2004).<br />
<br />
Maka,
keberanian pengarang juga penulis untuk menggali, menganalisa dan
mendialektikan kembali dinamika sosial dan sengkarutnya, lantas
memancangkannya dalam sebentuk esai, prosa maupun puisi misalnya, adalah
juga bagian dari ikhtiar mencari akar masalah dan solusi. Bukankah
dunia seni; dengan berbagai macam bentuknya itu, kadang menjadi ranah
yang paling mampu mengemas persoalan-persoalan kemanusiaan secara lebih
filosofis, reflektif dan esensial? Genre sastra misalnya, kerap menjadi
juru bicara luka-luka kemanusiaan. ”<i>Literature is form of responsibility –to literature itself and society..</i>”, kata Susan Sontag dalam pidato penghargaan <i>The Library’s Annual Literary Award</i>.
Sontag lebih lanjut mengatakan: ...seorang penulis adalah juga seorang
yang berpikir tentang masalah-masalah moral; tentang apa yang adil dan
tidak adil, apa yang lebih baik atau lebih buruk.<br />
<br />
Apa yang
lebih baik atau buruk itu, kita ambil misal adalah penyakit korupsi.
Perilaku ini bukan saja soal penyakit sosial yang amat gila, kronis dan
begitu telanjang. Tapi juga kejahatan paling terselubung yang nyata
melingkar-lingkar. Sungguh apa yang kita lihat di permukaan itu,
benar-benar rangkaian fenomena gunung es. Mungkin perilaku korup itu
sepadan dengan apa yang pernah diistilahi Arend sebagai sejenis<i> </i>banalitas kejahatan: “...<i>no
theory or doctrine but something quite factual, the phenomenon of evil
deeds, committed on a gigantic scale, which could not be traced to any
particularity of wickedness, phatology or ideological conviction in the
doer, who only personal distinction was perhaps extraordinary
shallowness”</i> (Richard Bernstein, <i>Radical Evil: A Philosophical Interrogation, </i>2002).<br />
<br />
Sejarah
sungguh punya peluang mengaburkan fakta-fakta dengan timbulnya berbagai
macam ketimpangan atau sebab yang politis. Di sinilah persoalan
kebenaran yang jamak kita anggap relatif, menemukan tantangannya.
Relativitas kebenaran pada akhirnya membawa pada sifat pasrah, acuh tak
acuh terhadap segala persoalan timpang, di sekeliling kita yang
sungguhnya punya peluang untuk diubah. Gagasan seni kerakyatan, seni
perlawanan atau apalah namanya, untuk kesekian kali menjadi penting.
Seni seperti ini, -bagi Barthes, selain produk dari waktu, juga
merupakan sebuah pilihan. Yang tentu memilih untuk tak sekadar diriuhi
bising formalitas bahasa dan anak cucunya, kepentingan-kepentingan
jangka pendek yang dangkal dan hal semacam. Demikianlah, catatan pendek
ini. Semoga esai-esai dalam buku ini dapat membantu kita melihat
realitas riil secara lain, menggugah dan proporsional. Akhirnya, selamat
membaca.<br />
<br />
<b><i>Malang, 4 Pebruari 2012</i></b><br />
<br />
*<i>Misbahus Surur, pegiat seni dan sastra, kelahiran Munjungan, Trenggalek</i>Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-17249943156161301882011-09-07T11:15:00.000-07:002012-12-13T23:06:45.612-08:00Dina, Emily, Puisi Sepi<br />
Seorang perempuan belia kelahiran Lampung telah membuktikan
diri sebagai penyair matang, setidaknya dari terbitnya dua buah buku
puisi penting: <i>Biografi Kehilangan</i> (2006) dan <i>Hati yang Patah Berjalan</i>(2009).<br />
---<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
MEMBACA
puisi-puisi penyair ini, dengan perjalanan ingatan dan mungkin juga
masa lampaunya yang muram, menyiratkan betapa setia dan tekun ia
menakik rasa, untuk menukik ke larat kata. Atau bisa sebaliknya. Sebab,
barangkali hampiran berjubal-jubal kata yang cemas pada hampir di
sekujur puisi-puisinya itu, lebih mengerikan dari apa yang terkata di
permukaan. Puisi-puisi perempuan ini unik. Dengan kadar ekspresivitas
dan efek dari skenario laratisme yang cukup emotif dan impresif.
Seperti dalam dunia psikologi, subjektivitas bahasa seperti menyimpan
hamparan misteri yang tak mudah dimengerti. Kendati dari untaian
bait-baitnya, segera menyampaikan pada kita, beban rasa, hanya dengan
selintas baca.<br />
<br />
Dengan tema besar seputar kehilangan,
kepedihan, dan denyut kecemasan. Puisi-puisi Dina Oktaviani, nama
perempuan tersebut yang juga seorang cerpenis ini, secara artikulatif
saya dapati sebagai eksemplar dari model tutur Emily Dickinson
(1830-1886). Penyair romantik Amerika yang eksentrik. Puisi Dina yang
tak terlampau takluk pada beban poetika, namun begitu cantik dan
subjektif dalam mengeksplorasi bahasa rasa, untuk kemudian menarasikan
puing-puing keterpecahan, kadang juga ambiguitas, menjurus ke dalam
simpul-simpul yang pernah diujarkan Emily. Representasi yang hadir dan
diimajinasikan dari alam bawah sadar sang penyair, dengan
ledakan-ledakan perasaan, yang seolah refleks dan impulsif itu, bagi
saya sangat Emily sekali. Namun, meski berlarat, pada puisi Dina, si aku
lirik terlihat tegar dan kadang juga keras kepala. Bahkan, tak sekali
dua, Dina menyemburkan ironi. Baca penggalan puisi <i>Nyanyian Pemabuk</i> ini: <i>Aku
nikmati lagi perjalanan seorang diri/ di mana cuaca juni demikian
mengancam/ ... aku tidak akan berhenti/ bahkan jika yang paling berharga
dari masa lalu/ tiba-tiba muncul di hadapanku dengan tangan terbuka//
aku tidak ingin berlari/ bahkan jika yang paling tajam dari harapan/
menguntitku dengan langkah amat menganggu//...</i> Membacanya, saya teringat puisi Emily: <i>This is my letter to the world,/ That never wrote to me,-/ The simple news that Nature told,/ With tender majesty</i>. Juga puisi ini: <i>I'm
nobody! Who are you?/ Are you nobody, too?/ Then there's a pair of us
--don't tell!/ They'd banish us, you know.// How dreary, to be
somebody!/ ...</i><br />
<br />
<br />
Dulu, Emily
banyak mempertanyakan makna-makna prinsipil ihwal sesuatu, seperti
hidup, manusia, cinta, kematian, iman, dan surga, dengan menumpu pada
elemen-elemen alam seperti burung, gunung, air, udara, batu, matahari,
dan sejenisnya. Pendeknya melalui entitas benda, karakter alam, dan
siklus hidup. Idiom-idiom itu ia gunakan sebagai citra untuk
mengendapkan jawaban dari berbagai pertanyaan yang sengaja
dipendamresahkan penyair.<br />
<br />
Bahkan, dalam mengurai misteri
kehidupan, Emily obsesif juga intensif untuk senantiasa menampilkan
metafor alam: dari ambiguitas hidup, ihwal yang dilupakan dari aktivitas
yang rutin, hal ironi yang menyehari, sesuatu yang bergeming di tengah
keriuhan, rahasia tersembunyi dari yang konvensional, juga fenomena
alam yang masih teka-teki di sekeliling manusia. Pasase-pasase yang
ditatanya kadang mampu meninggalkan jawaban yang luar biasa jernih dan
mistis meski juga kerap menyisakan tanda tanya besar yang meneror
pikiran. Di mana maksud penyair sering mengeram dalam jantung imaji,
mengendap kukuh dalam cangkang kata-kata. Baca penggalan puisi ini: <i>How happy is the little stone/ That rambles in the road alone/ And doesn't care about careers/ And exigencies never fears-/...</i><br />
<br />
<br />
Banyak
orang mengatakan Emily sebagai individualitas yang radikal. Seorang
perempuan yang dipenjara sepi, dengan rasa kesendiriannya yang sangat.
Karenanya, wajar bila sensitivitas (ber)puisinya terjaga. Gaya
artikulasinya yang singkat, padat, dan imajinatif, membuat
puisi-puisinya begitu inovatif. Dan seperti jamaknya penyair romantik
di era itu, Emily kerap juga memaknai sesuatu dari segi
kekurangan-kekurangan: suatu yang mungkin amat dekat, menjadi bagian
dari sesuatu yang pokok, tapi sering disisihkan. Coba baca potongan
puisi Emily berikut ini: <i>"... love is like Life--merely longer/ Love is like Death, during the Grave/...</i>" Atau puisi ini: <i>Water,
is taught by thirst/ Land– by the oceans passed/ Transport- by throe-/
Peace- by its battles told-/ Love, by memorial mold-/ Birds, by the
snow</i>". Adapun Dina pada salah satu puisinya, pernah menulis begini: <i>...tapi
cinta apakah ini/ yang telah melukai/ dan mencuri kesenangan dari rasa
sakit?// ..matanya penuh igauan;/ mengembara bagai musik/ yang memberi
gangguan berbeda/ kepada setiap telinga//...</i><br />
<br />
<br />
Pada
beberapa puisi di atas, citra sebuah benda tak (wajib) ditinjau dari
pandangan yang melulu objektif. Namun, terkadang bisa juga dengan
memeriksa melankolia perasaan penyair. Sebab, selain ditulis melalui
pengamatan yang dalam, sajak-sajak itu seperti didekati dengan cara
yang aneh dan tak lazim. Dan, karena itu misterius, seolah rangkaian
citra hadir menyapa pembaca, dari ruang pribadi yang begitu intim dan
subjektif. Emily memang kerap menampilkan suatu yang singkat,
sederhana, tapi menohok. Ini memperlihatkan tingkat intelegensi
penulisnya yang matang dan imajis. Perhatikan puisi Emily berikut: <i>"Banyak
kegilaan adalah rasa yang sangat indah-/ Untuk mata yang tajam-/
Banyak rasa-/ Kegilaan yang tak diinginkan-/ Ini mayoritas...."</i>Dan
artikulasi Emily ini sangat mewarnai langgam tutur Dina Oktaviani.
Keintiman Dina untuk berusaha mempelajari, mengenali, kemudian memahami
deretan makna "kehilangan", "kebersendirian", "keterpecahan", dan
sejenisnya, di samping menyembulkan tegangan dan jarak, juga
mengesankan detail karakter sebuah perburuan yang tak kenal henti. Akan
hal-ihwal tragedi hidup yang romantikanya seolah melulu terjangkit
wabah keterasingan dan rasa kehilangan yang dalam.<br />
<br />
Namun,
justru perasaan yang teramat dekat pada yang dianggap inferior itulah
yang mampu mentransfigurasi kata-kata dalam bait-bait puisi unik dan
cantik. Dengan mendasarkan pada garis kepenyairan yang ditarik dari
basis eksistensial yang khas ini kendati sekali lagi teks puisi tak
henti diproduksi berulang kali, dari kepingan rasa kehilangan,
kepedihan, dan juga kecemasan. Baca puisi <i>Potret Di Jendela</i>: ...<i>mereka
saling meraba kembali/ peristiwa yang cepat, waktu yang jahat/
semuanya dewasa dengan berat/ tak ada lagi darah, aku mengeluh:/
mengapa lukanya tak bisa dihapus!// musim berubah tiga kali dalam
semalam/ daun-daun tumbuh dalam kebingungan/ embun mengaburkan kaca
jendela seluruhnya//</i>. Pada puisi <i>Hati yang Patah Berjalan</i>, Dina menulis: <i>tak
ada yang sedih dan yang indah/ semuanya cuma kenangan sekarang/ bahkan
meski begitu deras hatiku tergelincir//... tapi aku telah mengerti/
yang sendiri tak bisa kehilangan</i>.<br />
<br />
Barangkali benar
kata Julia Kristeva, hidup dengan kehilangan adalah hidup untuk
mendefinisikan ulang diri-diri tekstual kita. Dalam Black Sun:
Depression and Melancholia (Cavallaro, 2004: 124), Kristeva pernah
memaparkan bahwa cara-cara yang kuat dalam memberi sebuah bentuk bagi
pengalaman kehilangan adalah seni. Mengapa demikian? Karena ia tidak
saja berperan menghambat celah-celah yang melubangi tubuh kehilangan.
Yang lebih penting, hidup dengan kehilangan adalah hidup untuk membantu
memberi ruang atau tempat (<i>space</i>) bagi perasaan kehilangan
tersebut. Setidaknya, sebagai semacam momen untuk mengenangnya lagi dan
lagi. Dan saya menduga, Dina pun belum mengelak dari ihwal ini.<br />
<br />
<br />
<b>Misbahus Surur, </b>penyuka sastra, tinggal di Malang<br />
<br />
<b> (Terbit di <i>Lampung Post</i>, 4 September 2011)</b>Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-61662762386388399162011-05-19T11:12:00.000-07:002012-12-13T23:08:19.712-08:00Teks, Celah dan Kita<br />
Sebagai jendela pengetahuan yang menumpu pada kemampuan daya
(me)resepsi, habitus "membaca" lazim punya produktivitas ganda. Selain
akumulasi dalam bentuk ujaran atau lisan (speaking), tabiat ini tentu
saja dapat memantulkan resonansi dalam tulisan (<i>writing</i>). Dan,
buku –salah satunya-, sebagai jantung di mana degup teks memompa
darahnya, guna mendapatkan vitalitas. Juga ruang, di mana mekanisme
“membaca” bekerja. Adalah tanda mata (<i>reminder</i>) bagi sesiapa
yang tak letih menajamkan indra dan pikirannya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tersebutlah Wolfgang
Iser, yang mengatakan semua objek yang kita baca (teks-teks) pada
akhirnya menyisakan celah-celah (Cavallaro, 2004: 99). Katakanlah
sebagai semacam "pintu masuk" yang, sering tak sadar, disediakan
pengarang, di mana pembaca –dengan cara dan kemampuan menyerap yang
berbeda-beda, membenamkan diri ke sana. Entah aktivitas itu kelak
sekadar semata pleasure atau akan menjadi sarana memadukan kembali
komponen-komponennya ke dalam berbagai perayaan dan interaksi tulisan
yang lebih baru (?).<br />
<br />
<br />
Namun, lepas dari itu, ketika
sebuah teks mendapatkan apresiatornya, lebih-lebih respons dalam
reproduksi yang divergen, baru aktivitas ”membaca” dapat bertiwikrama.
Suatu fase (per)gerak(an) teks, awal dari impuls bagi titik cerah untuk
menuai momen-momen katarsis, atau ekstase (kata-kata). Di mana pembaca
dan teks, dalam kadar tertentu punya kesanggupan untuk saling bertaut
dalam interaksi yang terbuka, intim, dan sepenuhnya. Dan memang laku
"membaca", setidaknya, adalah upaya memasuki relung-relung kata, untuk
menyibak segenap sisi dan menelusuri lipatan-lipatan petanda yang
mengeram dalam ruang bahasa. Sebuah ruang, yang tak jarang menyimpan,
kemudian menghantarkan, momen, yang dalam kata-kata Barthes, biasa
disebut <i>Jouissance</i>. Yakni istilah bagi kondisi atau momen, saat-saat membaca mampu mendapatkan ”rasa nikmat”, yang bisa sampai tak berhingga.<br />
<br />
<br />
Sastrawan-kritikus,
Jean-Paul Sartre, karena sebuah tulisan, pernah dihantam kritik suatu
kali. Kala itu, Sartre–dari pengakuannya-kerap dikritik atas nama
sastra, tanpa satu pun dari para pengkritik mendefinisikan sastra yang
dimaksud mereka. Pada sebuah kesempatan ia menganggap balik kritik
tersebut dengan nada setengah mengilah: "Jawaban terbaik untuk mereka
(para pengkritik itu) adalah memeriksa kembali seni menulis (<i>the art of writing</i>)". Dengan mengajukan tiga buah rumusan: <i>what</i>, <i>why</i> dan <i>for whom does one write</i>. Dari peristiwa ini, Barthes, yang punya perhatian lebih pada Sartre dan terutama sastra, lalu menulis risalah <i>Writing Degree Zero</i> (WDZ). Berangkat dari tiga buah pertanyaan menohok dan inspiratif yang disodorkan Sartre itu (S.T. Sunardi, 2004: 7-8).<br />
<br />
<br />
WDZ
masih berusaha menjawab ihwal kenapa seseorang mula-mula menulis. S.
Sontag–yang pernah membubuhkan pengantar di buku ini-di mana sebelumnya
mengakui bayang-bayang Sartre pada Barthes, kemudian hari turut
mengafirmasi. Sebagai bukti orisinalitas Barthes, karena jawaban lain
yang berbeda dari Sartre.Namun, alih-alih Barthes menjawab rumusan
Sartre itu. Dalam karya ini ia mengajukan jawaban lain berupa gagasan
sastra terlibat (<i>literature engagee</i>) ala dirinya. Ihwal karya
yang menurut Barthes punya tempat khusus di antara bentuk subjungtif
(ajakan) dan imperatif (perintah). Lebih jauh ia memaparkan teori
tulisan (<i>writing</i>), yang melampaui bahasa (<i>language</i>) dan gaya (<i>style</i>) milik umum. Bagi Barthes, jika bahasa dan gaya produk alami dari waktu, tulisan (<i>writing</i>)
adalah pilihan kemanusiaan. Ia tak dihidupi oleh semacam kebisingan
ideologis, kepentingan jangka pendek dan sejawatnya. Sastra terlibat
bagi Barthes adalah sastra yang–salah satunya-justru dapat mengosongkan
dirinya dari hal-ihwal di atas. Di mana tulisan benar-benar menjadi
sekadar <i>passion of writing</i> bagi penulis.<br />
<br />
<br />
Nirwan Dewanto dalam buku <i>Senjakala Kebudayaan</i>,
dengan sangat baik, pernah menyinggung persoalan yang barangkali tak
jauh berbeda. Pada salah satu esai, Nirwan membandingkan aspek politis
dalam <i>Seratus Tahun Kesunyian</i>-nya Marques yang memang penuh hiruk politik, dengan <i>Olenka</i>-nya Budi Darma yang ditengarai sepi dari itu. Dari pengamatan dan telaah yang cukup dalam, Nirwan menyimpulkan novel <i>Olenka</i>
yang seolah cuma beryanyi sunyi pun sungguhnya tak lepas dari aspek
politik juga. Bagaimana wujud keterlibatan dan ungkapan kesadaran
politik di sana? Dengan mengandaikan capaian dalam puisi lirik dan puisi
slogan. Nirwan mengatakan puisi lirik lebih menyubversi kesadarannya
dibanding puisi slogan. Alasannya, sastra sudah mengandung unsur politis
dalam dirinya.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
<br />
Menulis
memang laku produktif, dan karena itu butuh sebuah "gerak kreatif".
Dengan medium bahasa yang hidup; mengalir dan senantiasa menuju dialog.
Sebab itu pula, misalnya menulis karya sastra, jamak adalah menulis
untuk tak hanya berjalan pada jalan yang lempang; tradisi literer yang
ada. Melainkan untuk melengkapi dan bahkan melampauinya. Menulis sastra,
adalah ikhtiar mengolah gaya dan memperbarui keterampilan, begitu
ungkap G. Flaubert. Semacam rute untuk merambah ”kebaruan” pola dan
ucap, yang (mesti) ditempuh penyair, misalkan ini dalam ranah puisi.
Demi menempa kemudaan wicara (<i>pure speech</i>). Yang meliputi intensitas diksi, bentuk ungkap, gaya bahasa, kalau boleh menyebut beberapa di antaranya.<br />
<br />
<br />
Ibn
Jinni, terkait ini, yang saya kutip keterangannya dari Adonis, pernah
mengatakan, kebaruan adalah nilai yang ada pada dirinya sendiri. Dalam
keterangan yang sama, Ibn Rasyiq menambahkan, bahasa perumpamaan
(metafora) adalah puisi yang paling sulit; sangat tak mudah ditangani.
Sebab, masing-masing orang bisa saja memerikan sesuatu tergantung
kekuatan dan kelemahan yang ada dalam dirinya. Masih merujuk Rasyiq,
gambaran mengenai sesuatu yang dilihat manusia berdasarkan
penglihatannya itu akan lebih tepat, dari gambaran sesuatu yang tak ia
lihat. Penjelasan dua orang ilmuwan bahasa dan kritikus inilah yang,
kemudian hari dimaklumatkan Adonis dalam <i>Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam</i> (terj. Khairon Nahdiyyin, volume 4), sebagai kekuatan individu (<i>unique</i>) dan kreativitas (LKiS, 2009: hlm 7-8).<br />
<br />
<br />
Dan hal seperti itu juga yang, kurang lebih, pernah dirumuskan Barthes dalam <i>Writing Degree Zero</i>. Bahwa menulis adalah ketika seseorang mulai peduli dengan dirinya sendiri (<i>writing itself</i>).
Sembari tak lelah terus bertukar-tangkap gagasan, dialektika dan
memompa kreasi, bukan sebagai ihwal yang jamaknya sengaja (untuk tak
menyebut gagap), <i>gimmick</i> juga nafsu mengulang. Melainkan
sebagai sesuatu yang malah sering tak terencana.Oleh sebab itu, untuk
melahirkan karya, bagi Barthes, selain menghasilkan bahasa (<i>language</i>) dan gaya (<i>style</i>), mau tak mau seorang (penulis) tertuntut memunculkan <i>writing</i>. Di sini, jika bahasa dan gaya adalah dimensi horizontal dan vertikal, tulisan (<i>writing</i>) ala Barthes adalah sejenis suara pribadi dari seorang penulis yang unik (S.T. Sunardi, 2004: 8).<br />
<br />
<br />
Demikianlah,
menulis adalah belajar kembali membaca teks, memasuki kedalamannya, dan
mungkin hingga terserap larut olehnya. Entah kelak nyangkut atau
terus-terusan hanyut, yang jelas kita sering kemudian berusaha mengisi
celah-celah yang ada, sesuai dengan horizon dan subjektivitas
masing-masing. Sebab, konfigurasi teks yang variatif itu memang jamak
kita (pembaca) reaksi dengan tingkat dan kapasitas yang berbeda-beda
pula. Akhirnya, teks -yang dicipta pengarang-, seberapa pun daya
artistiknya, sejauh apa pun kekuatan literer dan jangkauannya, tak lebih
berguna tanpa (semangat) pembacaan yang tak henti-henti. Juga
terdapatnya sebuah konstruksi dan realisasi-realisasi yang
berkelanjutan. Dan begitu seterusnya.<br />
<br />
<br />
Inilah hal atau momen yang dalam pemikiran Barthes dinamai <i>writerly</i> (barangkali dalam tingkat tertentu, selevel atau bahkan nyaris menyamai konsep <i>exotopy</i>-nya Bakhtin, atau <i>interteks</i>-nya
Kristeva). Di mana posisi pembaca (pra-menulis) tak hanya puas
berkubang dalam lumpur snobis atau melulu terpukau oleh sihir epigonnya.
Tapi selalu terbuka dan membuka diri, sehingga denyut produktivitas
juga sensibilitas "yang berbeda" dapat timbul dan terjaga. Di titik ini
juga kemungkinan teks menjadi wahana <i>trance</i>, -atau <i>trace</i> kalau
merujuk nubuat Derrida-, tergelar lebar. Lagi pula bukankah memang tak
ada tanda (bahasa, teks dan sejenisnya) yang hadir untuk dirinya sendiri
(?).<br />
<br />
Oleh Misbahus Surur<br />
(muat di <i>Lampung Post</i>, Sabtu 14 Mei 2011)Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-3874149290468148822011-03-14T11:09:00.000-07:002012-12-13T23:09:04.202-08:00Kisah Nasionalisasi Bahasa MelayuPerjalanan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, bukanlah
perjalanan yang gampang. Kendati ihwal transformasi bahasa, dari bahasa
daerah menuju bahasa kebangsaan, jamaknya menjadi hal yang lumrah. Untuk
kasus bahasa Melayu, pilihan kepadanya bukan berdasarkan suatu yang
singkat, melainkan melewati proses dan pertimbangan yang cukup panjang
dan melelahkan. Beberapa pertimbangan itu seperti; tersebarnya ”ragam”
bahasa Melayu ke seantero Nusantara, jauh sebelum bahasa ini dikonversi
menjadi bahasa nasional (1928). Aspek lainnya adalah perilaku kebahasaan
para nasionalis (elite politik) yang kala itu juga diam-diam mengarah
ke sana.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Berdasarkan telisik Hoffman (Badri Yatim,
1999) misalnya, dalam lingkup keluarga, para elite itu biasa memakai
bahasa daerah masing-masing. Namun dalam ranah sosial-politik, mereka
cenderung menggunakan bahasa Belanda. Kendati begitu, ada yang tak masuk
telisik ini. Seperti penggunaan bahasa Jawa ngoko O.S. Tjokroaminoto
dalam sebuah kongres di Malang tahun 1932. Juga sebuah riwayat
penggunaan bahasa Melayu (pidato) Soekarno sewaktu masih duduk di bangku
HBS Surabaya. Didorong oleh ketidaksetujuannya pada pidato ketua <i>Studieclub</i>
yang berisi anjuran supaya generasi muda menguasai bahasa Belanda. Kala
itu, Soekarno malah menganjurkan segenap komponen perkumpulan agar
mengembangkan bahasa Melayu.<br />
<br />
Terkait penyebarannya, Denys Lombard (2005) dalam buku <i>Nusa Jawa: Silang Budaya</i>,
mencatat bahwa bahasa Melayu kuno yang berasal dari pesisir timur
Sumatera bagian selatan, ternyata menjadi bahasa perdagangan Kerajaan
Sriwijaya. Bahasa ini digunakan di bagian barat Nusantara dan
semenanjung tanah Melayu; baik di lingkungan istana, ranah-ranah
keagamaan maupun perdagangan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
beberapa prasasti yang ditemukan di luar wilayah penutur bahasa Melayu.
Di mana enam dari prasasti tersebut–yang salah satunya berada di Jawa-,
bertahun antara 792 hingga abad ke-9 Masehi. Sementara A. Teeuw (1994:
251), menulis, sekitar abad 15 terdapat sebuah kamus <i>Daftar China-Melayu</i> serta <i>Daftar Kata Melayu-Italia</i>
(1522) yang disusun Pigafetta. Bahkan, menurut catatan Teeuw tersebut,
sekitar abad ke-16, seorang Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten
memastikan bahasa Melayu di Asia Tenggara tak kurang penting dalam
fungsi komunikasi antarbangsa dan suku, dari bahasa Prancis di Eropa
Barat.<br />
<br />
Pada era kolonial, sebagaimana yang dicatat
van Der Putten,—terlepas dari dikotomi-dikotomi kebahasaan yang saat itu
diwacanakan serta dipraktekkan kaum kolonial-, beberapa peneliti
seperti Von de Wall, Klinkert juga Van Ophuijsen, pernah dikirim
pemerintah penjajah ke Riau untuk mencatat bahasa Melayu ke dalam kamus
dan tata bahasa (gramatika). Di mana dalam pekerjaan itu,
peneliti-peneliti tersebut dibantu cendekiawan pribumi, seperti Haji
Ibrahim, Raja Bih, termasuk pujangga kenamaan Riau, Raja Ali Haji. Yang
mana bahasa itu selanjutnya di<i>takok-tambah</i>; diolah;
disesuaikan; dicampuri bahasa-bahasa lain, agar ia cocok menerima
sekaligus mentransportasikan pengetahuan modern bagi pihak kolonial (Jan
van Der Putten, dalam Sweeney, 2007: hlm 28-29).<br />
<br />
Sedang tokoh-tokoh yang punya andil dalam memerjuangkan bahasa Melayu,
sedikit di antaranya Achmad Djajadiningrat (seorang bupati Serang), yang
pernah meminta agar bahasa ini diakui sebagai bahasa dalam persidangan
di <i>Volksraad</i> tahun 1918, sebagaimana halnya bahasa Belanda.
Lalu, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Di mana pada Kongres
Pendidikan Kolonial pertama di Den Haag, sekira tahun 1916, ia pernah
menyatakan bahwa bahasa Melayu akan menjadi bahasa perhubungan di
seluruh Hindia Belanda (Hoffman, 1995: 547). Kemudian, yang tak boleh
dilupakan, adalah andil besar Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Perjuangan
STA dalam menentukan arah dan desain bahasa Indonesia (yang merupakan
turunan bahasa Melayu), sangatlah penting.<br />
<br />
Aktivitas
dan karier STA di bidang bahasa dan peristilahan di zaman Jepang dan
periode awal Republik ini, diakui para peneliti asing dan dalam negeri,
sebagai sumbangan yang luar biasa. Terutama tahun 1938 dalam kongres
Solo, juga sekira tahun 1942 sampai 1944 (komisi bahasa Indonesia).
Bahkan, dalam buku Jerome Samuel, <i>Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosa Kata dan Politik Peristilahan</i>
(terj. oleh Dhany Saraswati Wardhany, 2008), dikatakan, Takdir-lah yang
dianggap telah mengenalkan kasus bahasa Indonesia ke tingkat
Internasional. Semisal melalui publikasi tulisan-tulisannya dalam
beberapa majalah mulai 1949, juga publikasi tulisan atas permintaan
lembaga PBB, UNESCO, pada 1951.<br />
<br />
Dalam beberapa karya
sastra, penggunaan bahasa Melayu,--dan lebih jauh lagi kelak tentang
gagasan nasionalisme-, bisa dirujuk, antara lain melalui cerita Marco
Kartodikromo berjudul <i>Semarang Hitam</i>. Sebuah cerita bersambung
dalam surat kabar tahun 1924. Cerita itu menghadirkan tokoh seorang
lelaki anonim yang sering diacu sebagai “lelaki muda kita”. Sang tokoh
kerap ditempelkan pada lanskap sosial, yang dalam kisah disusun secara
hati-hati. Menurut Anderson, tanpa mengonkretkan nama, si tokoh cerita
telah sanggup membayang ke benak pembaca. Pada narasi itu, digambarkan
seorang laki-laki tengah membaca koran sambil mengawasi pikuk jalanan di
luar sana; lanskap sosial jalanan kota; tentang gaya hidup juga
tragedi-tragedi harian yang menyertainya. Lalu pada halaman koran, si
lelaki menemukan sebuah berita tentang gelandangan yang sakit dan tewas
di tepi jalan. Oleh tragedi yang baru saja ia baca, laki-laki tersebut
lantas mengritik berbagai ketimpangan sosial di negeri jajahan yang tak
seharusnya.<br />
Laki-laki, si tokoh <i>kita</i> ini, kendati
dalam cerita hanya representasi seorang individu, seolah punya kekuatan
untuk bertaut kepada sosok lelaki muda yang mewakili tubuh kolektif
pembaca Indonesia. Tidak saja karena novel itu berbahasa Melayu,
melainkan karena struktur kisah; pronomina <i>kita</i> juga tragedi
yang sedang dibaca, setidaknya, mampu mewakili keadaan orang-orang di
luar cerita, yakni pembaca pribumi (Ben Anderson, <i>Imagined Communities</i>, terj. Omi Intan Naomi, hlm. 45-48).<br />
<br />
Begitu pula dengan novel-novel yang searas, semisal <i>Nyai Permana</i> karya Tirto Adhi Soerjo, <i>Studen Hidjo</i> dan <i>Mata Gelap</i> yang <i>nota bene</i> karya lain Marco Kartodikromo, juga <i>Hikajat Kadiroen</i>-nya
Semaoen. Sedikit dari novel-novel itu, pada tahap awal, sejatinya telah
menempuh sebuah proses menuju ruang pembayangan. Sebuah khayalan akan
komunitas, yang mula-mula dibangun dari kesadaran kebahasaan. Yang
barangkali teknis tapi cukup penting. Yakni melalui bahasa pribumi yang
tercetak dalam novel-novel. Maka, tak heran bila serangkaian novel tadi,
dulunya sering kena stigma pemerintah kolonial sebagai bacaan liar,
roman picisan dan sebutan buruk yang lain. Entah karena substansi,
maupun ekses literal yang ditimbulkan. Karena itu, tersebarnya narasi
novel bisa kita asumsikan sebagai upaya menasionalisasikan bahasa
Melayu. Selain juga menjadi bibit awal bagi tumbuhnya kesadaran dan
nasionalisme.<br />
<br />
Demikianlah, bahasa Melayu memang telah
lama digunakan di seluruh pelosok Nusantara sebagai bahasa pengantar.
Pun orang-orang Eropa, ketika tiba untuk pertama kali di berbagai pulau
Nusantara juga menggunakan pengantar bahasa ini. Tak kecuali dalam
beberapa karya sastra terbitan awal juga sebagaian tokoh nasionalis
kita. Dan bahasa Jawa misalnya, saat itu (1928) tidak dipilih menjadi
bahasa nasional, sebenarnya bukan lantaran kapasitasnya yang feodalis
dan atau substansinya yang dikotomik. Melainkan hanya karena bahasa ini
tidak masyhur dan lebih tidak sederhana dibanding bahasa Melayu.<br />
Kesederhanaan seperti apa yang ada pada bahasa Melayu? Samuel (2008:
149) dengan melandaskan pada serangkaian keterangan STA, mencoba
menelisik maksud dari kata “sederhana” tersebut. Sederhana di sini,
sedikitnya seperti: ketidakberubahan bentuk kata, keteraturan sistem
afiks dan kesederhanaan ejaan (struktur suku kata). Barangkali, sebab
itulah Muhammad Yamin melihat kemungkinan bahasa Melayu bakal menjadi
bahasa persatuan (<i>lingua franca</i>), jauh sebelum digadang-gadang oleh STA.<br />
<br />
Oleh Misbahus Surur,<br />
(terbit di<i> Lampung Post</i>, 12 Maret 2011)Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-30626389217339220952011-02-14T11:05:00.000-08:002012-12-13T23:12:12.410-08:00Puisi dan Kabar dari Lautan<br />
LAUT adalah metafora sekaligus sebuah "dunia". Sebagai sebuah
dunia, laut menjadi loka, atau setidaknya pintu gerbang, bagi sang
tualang melabuhkan diri ke negeri-negeri yang tak diketahui. Guna
menambatkan harapan-harapan baru yang (tak) terkonsep sebelumnya. Tempat
si pengembara melupakan kegamangan dan kejumudan-kejumudan di daerah
asal.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Dalam perjalanan ke laut yang sering tanpa (per)hitungan
itu, si pengembara berharap menemukan kejutan-kejutan hidup yang tak
terduga. Yang dapat merekahkan pandangan yang lebih bergairah, luas lagi
cemerlang. Sedang sebagai metafora, laut adalah sebuah kesan (mungkin
juga pesan) yang tertinggal, dari penemuan dunia dan semangat baru tadi.
Yang dituang dalam berbagai imaji serta catatan-catatan.<br />
<br />
Karena
itu, laut sering jadi pilihan juga alternatif pembebasan. Sebuah upaya
memerdekakan diri dari simpul yang mengikat seraya meluaskan pikiran
yang dipenjara batas dan sekat. Dalam ranah sastra, khususnya puisi,
laut pada satu kutub merupakan simbol kebebasan dan kedalaman. Sedang
pada kutub lain, adalah penanda untuk mengatasi instrumen (yang
dianggap) dangkal dan terkungkung—untuk menyebut sedikit di antaranya.
Meski begitu, di tangan penyair yang diselimuti enigma, metafora laut
kerap tak mudah diduga.<br />
<br />
Chairil Anwar, misalnya, dalam <i>Kabar dari Laut</i>,
pernah menuliskan sesuatu yang patetis. Pada bait-bait awal puisi, ada
sejenis penyesalan sekaligus ungkapan kekecewaan yang disulut oleh
sebuah hubungan (dengan seorang wanita). Rasa bersalah itu dinyatakan
dengan diksi "laut" yang menyiratkan perasaan tolol dan sesal tapi
begitu puitik: <i>Aku memang benar tolol ketika itu</i>,/<i>mau pula membikin hubungan dengan kau</i>;/<i>lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu</i>,/<i>berujuk kembali dengan tujuan biru</i>.
Sebuah takdir kepiluan di laut, tapi pada saat yang sama, secara
tersirat, tak ditolaknya. Keadaan tolol juga begitu lemah yang tak
berdaya dengan cium nafsu tersebut, kini telah jadi luka yang—sekali
lagi—juga diingini.<br />
<br />
Dan pada saat itu, dengan sadar,
Charil menjadi tahu, dalam hidup, batas antara cium nafsu dan luka,
umpama perjalanan buritan dan kemudi. Di mana titik pembatasan <i>cuma tambah menyatukan kenang</i>.
Dalam puisi ini, pengalaman hidup yang didapat serasa begitu
berdarah-darah. Namun sejak dari darat hingga laut, dari buritan sampai
kemudi, pengalaman yang berharga itu, pada akhirnya membikin tenang dan
tentram si penyair: <i>Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang</i>, begitu kata Chairil. Sebuah kemabukan yang diingini setelah pengalaman hidup yang pahit kembali terkendali.<br />
<br />
Adapun dalam <i>Senja di Pelabuhan Kecil</i>,
idiom laut beserta segenap elemen-elemen yang terpancang kukuh di sana,
seakan cuma tempat berhenti dan hening. Semua diksi dan idiom pada
puisi itu, seolah jadi penyangga bagi sepi dan sendiri yang teguh. Tanah
dan air tidur, ombak hilang, perahu tiada berlaut, desir hari lari
berenang adalah senarai idiom yang menguatkan sebuah momen
"kebersendirian" penyair. Kesendirian yang sadar diri namun begitu
disesaki harap yang serasa (masih) jauh. Pun dalam Cintaku Jauh di
Pulau, meski mula-mula nuansa kegembiraan tersembul, begitu sedikit dan
serasa tarik-ulur. Lantas seperti ada yang begitu saja terputus di
tengah jalan. Hal tersebut bisa kita rasakan pada kalimat dan metafora
ini: <i>perahu melancar, bulan memancar</i>,/ <i>di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar</i>./ <i>angin membantu, laut terang, tapi terasa</i>/ <i>aku tidak 'kan sampai padanya</i>.
Harapan yang dibelai kemuraman itu dilanjutkan dengan dua baris—sebelum
dua bait terakhir—yang kian mempertegas pasase di atas: <i>Mengapa Ajal memanggil dulu</i>/ <i>Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?</i>. Sebuah "ajal" yang disesali—dengan huruf pertama yang sengaja di-kapital-kan—tapi tetap tak dapat ditolak.<br />
<br />
Wan
Anwar, yang hidup jauh setelah Chairil, pada salah satu puisinya, juga
mengabadikan metafora lautan. Dalam puisi yang berjudul <i>Kau, Laut, dan Kata</i>, penyair yang tutup usia akhir 2009 lalu ini, menulis: <i>di geladak sudah tercium kata-kata</i>/<i>anyir seperti bangkai, di antara bayang-bayang</i>/ <i>kau sebut hidup adalah perjudian dan entah siapa</i>/<i>entah di mana seseorang mengangguk</i>/<i>untuk yang tak terbaca</i>// ... <i>di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita</i>/<i>ke mana kau berlayar, ia akan mengantar</i>/<i>setia bersama waktu yang tak letih berkibar</i>/ ... <i>dan aku --tahukah kamu?- akulah gurita itu</i>/<i>senja dan waktu yang kau sebut kepulangan</i>.<br />
<br />
Jika
setumpuk kata-kata di geladak anyir, bukankah "yang tertera" sudah tak
indah lagi? Bukankah kata-kata "anyir seperti bangkai" yang sinis adalah
paradoks bagi puisi indah dan manis. Lalu, apa gerangan yang terjadi
dengan kata-kata? Tak ayal, idiom-idiom pembuka puisi tersebut, ternyata
memetaforkan hidup yang seperti perjudian. Sebab watak hidup memang tak
pasti, sebagaimana frase "yang tak terbaca" juga kata ”perjudian”.
Dalam hidup seperti itu, tentu saja tak ada ketenteraman, alih-alih
hidup kian sesak diimpit pertaruhan.<br />
<br />
Dan metafor seseorang
yang mengangguk bagi keadaan adalah mereka yang menyerah atau setuju
pada nasib. Adapun diksi dan metafor gurita, di sini, barangkali bisa
kita maknai sebagai usia dan kesempatan. Bisa juga kiasan bagi durasi
kehidupan, yakni jatah hidup tiap orang yang melulu dikepung takdir.
Sebuah takdir yang teramat setia menyelam ke dasar laut kehidupan, di
mana sang penyair hidup bersama kata-katanya. Dengan begitu, selain
sebagai monster yang ditakuti, diksi gurita dengan sadar juga didekati; ”<i>akulah gurita itu</i>”,
kata si penyair untuk menunjukkan betapa dekatnya ia. Meski akhirnya
makhluk itu akan melenyapkan usia dan kata-kata. Dengan demikian, <i>senja dan waktu yang kau sebut kepulangan</i>, adalah kesetiaan usia untuk menemani masa tua (baca: jatah hidup) dan mengantarnya menuju tempat berpulang.<br />
<br />
Ungkapan-ungkapan
lain yang direguk dari lautan, juga ditatah secara beda dan kuat oleh
Iswadi Pratama. Dalam sajak yang berjudul <i>Aku dan Ibu</i>, Iswadi seolah menemukan laut lain dengan sebenar-benar laut: <i>di atas kapa</i>l/ <i>dari sebuah jendela</i>/<i>ibu menatap laut lepas</i>//<i>aku memandang ibu</i>/<i>ingin terjun ke dalam matanya</i>/<i>di mana laut lebih luas</i>//<i>tetapi mata ibu sudah kering</i>/<i>hanya batu-batu terkubur di situ</i>//<i>ibu menyaksikan laut tanpa batas</i>/<i>berenang menggantang gelombang</i>/<i>menuju pantai</i>./<i>aku melihat ibu dari atas kapal</i>/<i>menyimpan kedua matanya</i>/<i>dalam pelayaran tak pernah usai</i>.<br />
<br />
Air
mata ibu bagi Iswadi adalah laut yang kerap dilupa. Bagi penyair yang
juga seorang aktor ini, air di kantung mata itu seolah jenis laut dengan
segala kedalaman yang bagi saya melebihi kedalaman laut ala Chairil.
Tangis bahagia juga linangan kesedihan ibu adalah tanda kasih dan ikatan
batin yang kuat antara ia dengan anaknya. Di sana, di ceruk mata itu,
tersimpan luasnya ketulusan. Namun serasa ada sesuatu yang begitu
pribadi ketika mata itu tiba-tiba kering. Entah karena bengkak untuk
menangisi kepergian si anak, ataukah ada ihwal lain?<br />
<br />
Lepas
dari itu, kasih ibu tetap saja tulus, kendati sang anak melanglang
entah ke mana. Sebab, sejauh manapun anaknya berlayar, mata ibu akan
selalu di situ, senantiasa disimpan untuk anaknya. Demikianlah sedikit
kabar yang dapat kita petik dari beberapa puisi yang mengharu-birukan
lautan. Semoga laut masih akan biru dan sampai pada kita dengan
rupa-rupa kabar yang lain.<br />
<br />
Oleh Misbahus Surur, penyuka sastra<br />
(Tayang di <i>Lampung Post</i>, Minggu 13 Februari 2011)Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-61874747494001809272010-07-15T09:30:00.000-07:002012-12-13T10:28:02.119-08:00Saat Sastra(wan) Jadi Komentator Lapangan<div style="text-align: left;">
Esai Misbahus Surur</div>
<div style="text-align: left;">
Permainan sepak bola efektif dan permainan alur cantik, mana yang lebih menarik? Jamak pengamat bilang, yang pertama barangkali representasi permainan Inter Milan di bawah kendali Jose Mourinho. Sedang yang kedua, lebih ke model permainan klub-klub Spanyol, terutama Barcelona di bawah tangan dingin Josep Guardiola.</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Lalu, bagaimana aksi lapangan negara-negara peserta Piala Dunia tahun ini. Adakah permainan cantik, setidaknya, mampu dipelopori negara-negara bertabur bintang, semisal Brasil, Argentina, Spanyol, Italia atau Belanda? Ah, bukankah dalam pergelaran empat tahunan itu, model permainan cantik tak terlalu diminati atau bahkan tak pernah menjadi prioritas. Sebab, ketika sudah tiba hajatan paling akbar itu, yang mutlak dibutuhkan sebuah tim adalah kemenangan, bukan godaan bermain cantik. Permainan sepak bola Eropa, berikut tipe Amerika Latin di klubnya masing-masing, memang bisa kita akui sebagai cermin permainan kelas tinggi. Tapi, dalam Piala Dunia 2010 ini, berderet superioritas itu bukan jaminan untuk memainkan sepak bola indah, bukan?</div>
<div style="text-align: left;">
Jika demikian halnya, bisa jadi, kita malah menonton hal-hal linear dan normatif belaka. Ringkasnya, tak pernah ada permainan yang memukau, trik-trik yang menarik, juga gocekan-gocekan cergas dan tangkas. Lebih lagi, tuntutan untuk bermain terbuka, di mana ketika peluit wasit ditiup, permainan bergulir tanpa beban apa pun yang dibawa pemain; beban patokan gol, keharusan memenangi pertandingan juga beban untuk bermain secara baik.</div>
<div style="text-align: left;">
Sudahkah kita temukan secercah tarian bola indah pada diri Jabulani—nama bola resmi Piala Dunia di Afrika Selatan? Alih-alih, dalam sebuah tim dengan kualitas dan kalkulasi pemain di bawah rata-rata, misalnya, sekelas Afrika Selatan, Aljazair, Swiss ataupun Jepang, mereka harus mengintroduksi permainan cerdas: siasat dan perhitungan matang juga strategi yang jitu. Pendeknya, teknis belakalah yang harus diunggulkan. Entah terkait pola menyerang, pola pertahanan, pola untuk bisa mendapatkan suplai bola dan memasukkan bola ke jala lawan.</div>
<div style="text-align: left;">
Selain hal-hal urgen di atas, sebuah permainan tentu sangat terikat dengan seperangkat aturan. Kelak, dari jalinan regulasi yang diterapkan wasit hingga realitas di lapangan itu, akan menuturkan cerita dan peristiwanya sendiri. Tak peduli di sana mengemuka fenomena yang lumrah-lumrah saja ataupun janggal. Toh, dari berbagai peristiwa itu nantinya akan ada yang dikenang, meskipun ada pula yang segera dilupakan. Pun sejumlah pemainnya bisa menjelma pahlawan kendati tidak sedikit yang menjadi pecundang. Yang jelas, ihwal yang menyertai pertandingan demi pertandingan tersebut akan semakin menggenapkan anggapan kita bahwa para manusia (lapangan) adalah sang homo ludens, makhluk yang suka bermain.</div>
<div style="text-align: left;">
Tetapi, dari sekian permainan yang kerap dihelat, barangkali masih jarang yang memperhatikan bagaimana perasaan rumput dan bola di lapangan, juga bagaimana pikiran gawang dan benda-benda di stadion. Kalaulah ada yang mengajak kita merenungkan hal yang renik itu, mungkin cuma sedikit. Dan yang sedikit itu, termasuk penyair Hasan Aspahani (HA). Ya, di saat banyak peminat sepak bola biasa menikmati permainan lewat cerdasnya gocekan bola pemain, juga segala keindahan yang terpampang di sana.</div>
<div style="text-align: left;">
Aspahani malah mengomentari benda-benda mati yang berserakan di lapangan. Seolah ia menahbiskan dirinya sebagai penyambung lidah benda-benda tak bernyawa itu. Lalu menghidupkan sebuah adegan di lapangan kata-kata, tak kalah meriah dari yang terhidang di lapangan bola. Sangat jadi, ini upaya Aspahani untuk mengintegrasikan tema-tema yang alpa digarap dan dieksperimentasi penyair-penyair lain. Lagi pula, benda-benda itu memang jarang ada yang mau mengomentari, apalagi menyelami keluh-kesahnya.</div>
<div style="text-align: left;">
Dalam sajak Malaikat Penjaga Gawang, misalnya, sehabis pertandingan, si kulit bundar tertidur pulas dan bermimpi protes pada malaikat penjaga gawang: “Kenapa engkau halangi aku menyentuh jaring-jaring gawang itu? Kenapa setiap kali aku ada di dalam tenteram tanganmu, kau tendang lagi aku ke tengah-tengah lapangan untuk diperebutkan?”. Seperti seorang anak kecil, sang bola berkeluh, menandas-lunaskan segala yang dirasakan. Karena sejujurnya, ia ingin tenteram pulas di jala, tak ingin diperebutkan lagi. Sudah malas dikejar-kejar sekian puluh pemain, tiap kali pertandingan digelar. Tapi sungguh malang nasib sang bola, sia-sia ia bertanya dan berusaha membela diri karena keluhannya tak pernah dapat jawaban “karena” atau “sebab”.</div>
<div style="text-align: left;">
Pada sebuah pertandingan penutup (final), seharusnya tak ada kata imbang karena yang diharapkan masing-masing tim adalah kemenangan. Kemenangan di sini dalam arti siapa yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, bukan pada tingginya ball possession, kebagusan strategi atau unggulnya kapasitas pemain. Yang juga tidak seperti pertandingan penyisihan yang sah-sah saja terjadi imbang (tanpa gol atau gol yang dihasilkan sama). Maka, jika dalam pertandingan tak terdapat gol, bagaimana mau digelar sebuah pertandingan final. Tapi, inilah yang terjadi dengan “Pertandingan Penghabisan” versi Hasan Aspahani. Dengan atraktif, satire dan menohok, Aspahani memain-mainkan bola liar kata-katanya: Tuhan, Engkau tidak usah nonton, kan? Memang sebaiknya sejenak kami Engkau tinggalkan. Jangan pernah lagi Engkau main tangan, bikin gol ke gawang salah satu dari kami, doa seorang kapten sebuah kesebelasan. Seolah kesebelasan satu tak mau menyakiti kesebelasan lawan, dengan jalan membuat gol. Setelah perpanjangan waktu, disertai ceceran kartu kuning dan merah yang mengganjar tackle-tackle kotor para pemain, gol pun tetap tak terjadi. Dan, doa kapten tim itu sungguh-sungguh dikabulkan Tuhan.</div>
<div style="text-align: left;">
Perhelatan sepak bola di zaman modern ini, tentu bukan sebuah permainan biasa tetapi sudah menjelma sebagai ritus yang menerabas sekat-sekat wacana dan tradisi, dengan segala peranti kepentingan yang terselip di dalamnya. Membaur pekat di dalam maupun di luar lapangan, dari yang unik hingga soal mistik, dari yang renik hingga yang klenik, bahkan dari yang fantastis hingga yang erotis. Menyatu dalam helat permainan bersama riuh tempik-sorak penonton. Dan, lamat-lamat, penonton pun sering main spekulasi sendiri. Serasa kepala mereka dipenuhi rumus-rumus probabilitas. Dan seperangkat probabilitas itu bukankah sangat karib dengan mental penjudi? Inilah yang diulas dengan kemasan ironik dalam salah satu sajak Aspahani. Di mana tiap datang event Piala Dunia, selalu tak bisa lepas dari kepentingan di luar lapangan: semarak perjudian. “Saya yang berjudi nyawa di lapangan, mereka enak saja adu nasib di meja perjudian,” keluh seorang pemain bola dalam Lengking Peluit yang Lama Tak Ia Perhatikan (hlm 48).</div>
<div style="text-align: left;">
Dalam dunia sajak, kata Goenawan Mohamad, riwayat kata dan tubuh adalah dua entitas terbatas yang dibujuk oleh sesuatu yang tak berhingga. Dalam sajak-sajak Aspahani, riwayat dua entitas itu seakan terwakili sekaligus oleh hadirnya buku antologi sajak Telimpuh (Koekoesan, 2009) ini, khususnya pada tema Malaikat Penjaga Gawang. Setidaknya, di sini, persamaan antara bola dan sastra, adalah sama-sama ingin memperlihatkan setangkup keindahan. Jika yang pertama berusaha memamerkan keindahan lewat utak-atik benda berkulit bundar hingga sedap dipandang mata. Maka yang lain, adalah upaya memainkan kata-kata dengan balutan keindahan bahasa, agar pembaca tercerahkan: katarsis.</div>
<div style="text-align: left;">
Melalui sajak dialog maupun monolog, Aspahani berusaha menghidupkan benda-benda mati di lapangan. Ia seolah tengah mengamalkan laku dan prinsip meditasi "kemudian". Sajak "kemudian" bagi Aspahani adalah sajak yang terus-menerus menawarkan pembaruan dan kebaruan kata-kata. Tapi tetap dibimbing dialog-dialog yang cerdas. Dalam sajak Setelah Sebuah Gol umpamanya, bagaimana monolog bola itu mampu ia bangun secara ambigu tetapi juga menyiratkan pertanyaan eksistensial sehingga pembaca seperti digelitik untuk mempertanyakan apa kepentingan penonton dalam permainan sepak bola yang ia tonton.</div>
<div style="text-align: left;">
Sebagaimana kredo "tetapi" yang diteguhinya, dalam sajak Solilokui Sang Bola Kaki, Aspahani seperti ingin menunjukkan sepenggal "tetapi" itu. "Tetapi" adalah penghubung dua kalimat atau frasa yang bertentangan. "Kenapa semua tentara tidak dilatih menjadi pemain sepak bola saja?... Mungkin dunia akan lebih damai, kalau/wajib militer diganti wajib main bola? Dan suara-suara tembakan pun berganti/menjadi riuh penonton di lapangan sepak bola?... Bukankah dengan demikian, tak ada orang biasa/yang terluka? Atau bahkan jadi korban sia-sia” (hlm 56). Membaca penggalan sajak ini, kita seolah-olah digiring untuk merenungi kata-kata Aspahani berikut: "Bila dunia menampakkan A, maka penyair harus menemukan dan menghadirkan B dalam atau dengan sajak-sajaknya". Dalam sajak-sajak yang khusus bertema sepak bola ini, Aspahani seperti tak henti membuat kejutan-kejutan baru, ia terus berlari mengejar bola kata-katanya, untuk kemudian melunaskan setiap ciptaan dalam situasi estetiknya sendiri.</div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, <i>penyuka sepakbola, sekolah S-2 di UIN Maliki Malang</i></div>
<div style="text-align: left;">
(dimuat <i>Lampung Post</i> 26 Juni 2010)</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-89899309635341966122010-07-15T09:26:00.001-07:002012-12-13T10:28:42.028-08:00Modernitas yang Dilecut Kartini<div style="text-align: left;">
Esai Misbahus Surur</div>
<div style="text-align: left;">
</div>
<div style="text-align: left;">
KARTINI lahir dan besar dalam lingkup keluarga ningrat Jawa yang feodalis. Alur hidupnya dikerubungi tarikan norma serta konvensi yang sering eksploitatif, terutama pada persoalan gender. Hampir-hampir perempuan tak punya andil, lebih lagi nyali untuk menyibak jalur terang sendiri.</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Perempuan kerap dijerat patriarki, dicengkram hegemoni lelaki. Perempuan di zaman itu, kata Siti Soemandari Soeroto dalam Kartini; Sebuah Biografi (Gunung Agung: 1982) karena akar dan konstruk budaya, sangat bergantung sepenuhnya pada nafkah suami, dengan dalih takut dicerai dan sejenisnya. Ditambah suburnya pandangan hidup yang mengalienasi perempuan; ia tak memerlukan kepandaian, mengingat fungsi utamanya yang semata konco wingking bagi lelaki: sekadar masak, macak, dan manak. Sebab itu, bagi puteri kedua Bupati Jepara R. M. Adipati Ario Sosroningrat ini, prestise nasab yang secara kodrat harus ia terima, tak lagi menjadi suatu privilese, tapi tak lebih dari senarai duka-lara.</div>
<div style="text-align: left;">
Meskipun demikian, berbahagialah ia yang lahir dari keluarga (ayah hingga kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro) yang menjunjung tinggi pengetahuan, memuliakan pendidikan, dan mentradisikan sekolahan. Dengan memiliki ayah yang menyadari urgensitas ilmu seperti itu, belenggu adat pun tak menghalangi sang ayah untuk menyekolahkan anak perempuannya. Meskipun hanya memperbolehkannya hingga tingkat sekolah dasar.</div>
<div style="text-align: left;">
Namun, sebagaimana kata Sulastin Sutrisno dalam Surat-Surat Kartini (Djambatan: cetakan 1985), meski keinginan Kartini melanjutkan ke HBS Semarang, setamat dari ELS, yang menggebu itu kemudian begitu saja dijegal kata "tidak", sang ayah mengganti keputusan itu dengan "jenis studi lain" yang tak kalah seru; memfasilitasi bacaan dan izin selebar-lebarnya untuk surat-menyurat kepada teman-temannya yang mayoritas berbangsa Belanda.</div>
<div style="text-align: left;">
Tak disangka, justru karena akses buku-buku (membaca) dan habitus korespondensi itu, menjadi pintu masuk ide, pencerahan dan modernitas yang menghantarkan jiwa dan pikirannya menjadi pribadi yang tak biasa. Kartini belajar segala-galanya lewat buku juga berlatih menyatakan pikiran (berdialektika) melalui surat-menyurat. Dengan langgam ini, pelan tapi pasti cara berpikir dan kejiwaannya menjadi matang saat usianya masih begitu belia, belum lagi genap 20 tahun dari umurnya.</div>
<div style="text-align: left;">
Waktu itu, iklim modernitas telah merasuki pikiran Kartini. Ia telah mendidik diri dan otaknya dengan pikiran-pikiran Barat lewat bacaan-bacaan. Meskipun ia tidak bisa seperti kakaknya, Sosrokartono, yang mampu menyesap putik modernitas langsung di negeri asalnya (Belanda). Tempaan berbagai bacaan itu, di mana seluruh pikirannya sengaja ia biarkan berdialektika dengan persoalan-persolan bangsa dan jerat tradisi. Dan, terutama perjumpaannya dengan dunia Barat lewat beberapa orang Belanda yang mewujud dalam hikayat korespondensi, yang kemudian melahirkan ratusan surat yang diterbit-bukukan dengan judul Door Duisternis tot Lich (DDtL) oleh Luctor et Emergo, �sGravenhage juga oleh Gee Nabrink, Amsterdam, atau dalam versi Indonesia, Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam kadar tertentu, ikut menyumbang bentuk dan konstruksi pikirannya saat itu. Dalam kumpulan surat-surat tersebut, entah itu kepada Mr. J.H. Abendanon sekeluarga, Estella Zeehandelaar, Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, Nyonya Nelly van Kol, Dr. N. Andriani dan seterusnya, sungguh penderitaan, benturan-benturan hebat, tentang keterbelakangan bangsanya dan segala keluh kesahnya, begitu kuat tergurat di sana.</div>
<div style="text-align: left;">
Jejak yang Menyala</div>
<div style="text-align: left;">
Kartini bukan sastrawan maupun seniman dalam pemaknaan normatif, tapi sejarah mencatat, selain melukis, membatik, dan kumpulan surat-suratnya yang masyhur, ia juga menulis prosa dan puisi. Mungkin, bukan kumpulan surat-suratnya dengan kapasitas yang menyejarah itu yang membikin namanya sanggup menggema dalam lembaran catatan dunia. Bisa jadi, malah sebuku gagasan dan ketinggian susunan kemasan (bahasa) itu yang membuat namanya harum.</div>
<div style="text-align: left;">
Jamak diketahui, Kartini adalah sosok dengan kemampuan literer yang menawan. Mutu sastra pada tulisan-tulisannya yang terbukukan dalam DDtL, sering dinilai sebagai hal yang jarang atau asing bagi zamannya. Terlebih saat ditelisik dari riwayat pendidikannya yang hanya tamatan sekolah rendah. Tak heran pula bila pada awalnya banyak yang meragukan orisinalitas DDtL, terutama karena kemasan bahasa DDtL yang cenderung muluk tapi juga patetis untuk seorang yang hanya lulus sekolah dasar, Europe Lagere School (ELS).</div>
<div style="text-align: left;">
Namun, saat manuskrip aslinya ditemukan, dan diterbitkan kembali dengan tanpa secuil sortiran pun oleh Jaquet tahun 1987, baru terbukti secara meyakinkan bahwa Kartini benar-benar mampu menguasai pemakaian gaya bahasa Belanda, secara bagus dan kreatif. Bahkan, A. Teuuw (1994), dalam Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, yang pada awalnya sempat tak mempercayai putri Jawa yang hanya lulus sekolah tingkat dasar Belanda, serta belajar privat secara terbatas itu dapat menulis dalam bahasa Belanda, yang tidak hanya tata bahasanya yang tanpa cela, tetapi penguasaan dan penggunaan gaya kesusastraan Belandanya yang mencengangkan, terpaksa harus memercayainya. Dalam hal ini keunggulan Kartini terletak pada renungannya yang dalam atas dirinya juga nasib bangsanya. Renungan itu dibalut dengan tuturan segar, orisinil, dan amat piawai. Bahkan, beberapa pengarang Belanda saat itu, salah satunya Augusta de Wit, juga menilai bahasa Kartini cakap dan segar.</div>
<div style="text-align: left;">
Tahun 1911, surat-surat Kartini untuk pertama kali diterbitkan. Dan pada tahun 1922, untuk yang pertama kali pula diterjemahkan dalam bahasa Melayu. Sejak kemunculan surat-surat Kartini dalam bahasa Melayu, 16 tahun kemudian, dengan dialihbahasakan oleh salah seorang sastrawan pujangga baru, Armijn Pane, tepatnya tahun 1938, surat-surat Kartini terbit kembali dalam bahasa Indonesia yang masih kecampuran kata-kata Melayu. Terbitan kali ini agak terbatas, yakni dengan sengaja menanggalkan sejumlah 16 surat, di samping juga terdapat surat-surat yang dipotong. Dan tebalnya tak lebih dari separuh dari edisi 1922.</div>
<div style="text-align: left;">
Kemudian pada 1979, dengan menggunakan edisi kelima dalam bahasa aslinya (Belanda) terbitan 1976, dan dengan tambahan surat-surat Kartini yang lain, atas usaha Soelastin Sutrisno, surat-surat itu diulangterbitkan dalam edisi Indonesia yang jauh lebih lengkap dan sempurna dari dua edisi terdahulu. Dengan bubuhan tajuk baru: Surat-surat Kartini; Renungan Tentang dan untuk Bangsanya. Baru setelah itu, sekira tahun 1987, surat-surat asli Kartini dalam edisi F.G.P. Jaquet, terbit. Edisi kali ini, di samping memuat surat-surat Kartini kepada keluarga Abendanon secara lengkap, juga menyertakan beberapa surat dari adik-adik Kartini: Kardinah, Roekmini, dan Kartinah (Teeuw, 1994).</div>
<div style="text-align: left;">
Tampaknya terbitan surat Kartini, baik dalam teks aslinya yang berbahasa Belanda dan juga terjemahan awal dalam bahasa Melayu tahun 1922 oleh empat orang pribumi ahli bahasa Melayu yang tinggal di Belanda, salah satunya semisal Zainoedin Rasad, atas usaha Abendanon, dan juga surat-suratnya setelah itu, bukan saja kekayaan literatur historis bangsa yang harus dijaga. Lebih dari itu adalah buah usaha yang patut dilestarikan sebagai pengayaan kehidupan rohani Kartini dan spirit kemanusianya yang tentu masih aktual diteladani hingga hari ini.</div>
<div style="text-align: left;">
Pada titik ini, --terlepas dari dilematika yang sering dilekatkan ke sosoknya, seperti Kartini produk brilian hadiah Belanda dan semacamnya-, Kartini adalah subjek yang menemukan dirinya di atas puing-puing reruntuhan tradisi feodalisme hegemonik. Lantas diraihnya cahaya modernitas; menjadi manusia pembelajar bagi bangsanya.</div>
<div style="text-align: left;">
Tak urung, �si anak durhaka� pada adat moyangnya ini adalah buah dari sintesa zaman. Dengan topangan semangat dan kesadaran untuk memahami, mencerna kemudian mengambil nilai-nilai baru dari pertemuan dua arus kebudayaan yang berbeda, demi kemajuan kebudayaan bangsanya. Pramudya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, pernah menganalogikan begini: jika Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah kunang-kunang di tengah malam gelap-gulita di rimba belantara yang hendak ditaklukkannya, Kartini merupakan obor dengan minyak pengetahuan dan pemikiran yang lebih masak dengan oktan yang lebih tinggi sebagai sesama gaba-gaba dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara.</div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, <i>esais, pegiat buku, mahasiswa pascasarjana UIN Maliki Malang</i></div>
<div style="text-align: left;">
(dimuat<i> Lampung Post </i>25 April 2010)<i><br /></i></div>
<div style="text-align: left;">
</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-88610100407809707722010-07-15T09:21:00.000-07:002012-12-13T10:29:10.156-08:00Menuju Kematian yang Puitis<div style="text-align: left;">
Manusia jamaknya memang selalu merasa alergi saat berhadapan dengan ihwal kematian. Seolah kematian terus-menerus mengeram dalam ceruk kekhawatiran.</div>
<div style="text-align: left;">
KEDATANGAN maut adalah ujung bagi waktu yang membeku, juga seperti lupa yang merenggut ingatan kita. Maut menderu-deru seperti angin, menjerit di pori-pori nyawa. Berburu waktu dengan manusia, meski akhirnya ia menyeringai di depan dengan genggaman temali kepastian. Maut bagai kutukan yang merangsek ke dalam hidup, berselubung misteri dan teka-teki. Dan Tuhan sengaja tak memberi manusia porsi pengetahuan yang memadai untuk mengungkapnya. Manusia hanya terus diiming-iming, bahwa saatnya nanti ia akan bertemu ajal. Meski ingatan perihal itu tak kunjung membikin manusia takluk.</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar dalam sajak Derai-derai Cemara. Kekalahan yang boleh jadi tersirat di pikiran Chairil saat itu sebagai ketakutan manusia akan tibanya ajal/mati. Sebuah kekalahan telak, karena tak ada ruang di mana manusia dapat melawan atau lari menyingkir. Namun, seorang Chairil agaknya masih berusaha memanfaatkan hidupnya meski manusia akan kalah juga. "Hanya ada satu hal yang nyata, kematian," kata Najib Mahfud. Kendati ia bukan sebuah kenyataan yang memastikan diri dalam ruang dan waktu yang presisi; karena manusia tak pernah tahu kapan, sebab, dan di mananya. Maka, kita adalah kematian dan anak dari kematian, tambah Mahfud, pada salah satu halaman novel Aulad Haratina.</div>
<div style="text-align: left;">
Kalau kita cermati, akhir-akhir ini, kian jarang orang yang berpikir perihal (ke)mati(an). Alih-alih sekadar krentek dalam pikiran, berkelebat dalam benak saja tidak. Seolah kematian menjadi barang yang terlalu mewah untuk dipikir-renungkan. Kondisi seperti itu, membikin pemaknaannya menjadi dangkal, nirpenghayatan dan jarang sekali diingat-ingat. Apalagi saat-saat sekarang, perkembangan teknologi mutakhir kian memberi dampak serius bagi terenggutnya nilai kesadaran, spiritualitas dan penghayatan. Kehidupan yang serbacepat berakibat turunnya penghayatan manusia akan makna kehidupan. Di sisi lain, sains modern dengan meminjam tangan ilmu biologi, kedokteran, dan keilmuan medis lainnya, tak kalah kuasa mereduksi esensi kematian. Bahkan, saat ini, dominasi besar-besaran paradigma saintifik ke dalam tubuh pengetahuan modern, kerap memiuhkan makna kematian. Akibatnya, makna kematian menjadi dangkal, terkapar dalam simplifikasi. Bahkan ia tak lagi menjadi pengalaman yang menggetarkan hati, tetapi sekadar fragmen kehidupan yang biasa.</div>
<div style="text-align: left;">
Pelibatan ilmu pengetahuan dengan mendayagunakan pengalaman langsung; mencicipi detail lekuk kematian, menyelam dalam denyutnya yang abstrak, kian jarang. Lapisan kesadaran manusia modern gersang tergusur habitus mereka yang absurd. Dulu saat humanitas hanya didudukkan sebagai yang pasif, beberapa filsuf, seperti Kierkegaard, Husserl, juga Hiedegger, pernah menyerukan kembalinya eksistensi manusia beserta segenap keunikannya. Kierkegaard, misalnya, memahkotai humanisme dengan segala makna dan perantinya; hidup-mati, bahagia-sengsara, juga soal kebebasan, yang kemudian memuncak pada dimensi diri dan spritualitas kehidupan. Menurut Kierkegaard, ketika apa yang paling dekat dengan manusia itu (baca: kematian) makin tak dikenali, maka eksistensi manusia perlahan-lahan menjadi redup dan suram.</div>
<div style="text-align: left;">
***</div>
<div style="text-align: left;">
Sungguh memang maut amat misterius. Kemisteriusan itu bukan karena diri kematian itu, melainkan karena tak pernah ada manusia yang mampu mengetahui kedatangannya. Ia hampir selalu datang mendadak, tak pernah berikat janji ataupun kontrak yang serbapasti. Mendiang Chairil Anwar misalnya, pernah menyinggung perihal ajal dalam sajak Yang Terampas dan Yang Putus: Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin// Aku berbenah dalam kamar// Dalam diriku jika kau datang// Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu// Tapi hanya tangan yang bergerak lantang. Sajak ini adalah sajak kelam nan muram untuk menyambut derap kematian saat dirasa makin dekat. Kematian yang ditakzimi Chairil dengan ikhtiar melawan. Meski bekal dan persiapan bisa jadi belum matang. Atau taruhlah gegap kematian yang ditebar Pramudya Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam : “...Detik demi detik lenyap ditelan malam. Dan dengan tiada terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan malam dan siang ....Di mana pun juga dia menampakkan dirinya. Di mana pun juga dia menyerbu ke dalam kepala dan dada manusia..." Kemudian diteruskan lewat aforisme lain yang padat nan serasa lebih menyentak, "... dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana." Sebuah parafrase, yang seakan terpacak rapi dalam pikiran Pram untuk senantiasa memprotes peran manusia yang kadang dikerdilkan dirinya sendiri; sekadar menjalani hidup dan kemudian menerima begitu saja takdir kematiannya.</div>
<div style="text-align: left;">
Chairil, Pram, juga Mahfud adalah orang-orang yang sanggup menyambut kematian. Tapi mereka bukan manusia yang tak gentar terhadap maut. Mereka hanya punya langkah tepat untuk menghadapi kematian, bahkan ikhtiar melawannya. Tentu saja saat kehidupan menjadi nirmakna dan tak seyogianya, jalan satu-satunya bukankah hanya dengan bekal melawan. Pada titik ini, agaknya mereka menginsafi kematian sebanding dengan menghargai kehidupan; kehidupan yang didedikasikan secara penuh seluruh pada kemanusiaan. Tersebab itu, mereka melawan berbekal keberanian, meski akhinya akan (di)tiada(kan). Mereka sadar, bahwa ketiadaan itulah kebenaran sesungguhnya. Dan kesiapan untuk ditiadakan adalah langkah satu-satunya menyambut keberanian hidup yang tanpa konformitas.</div>
<div style="text-align: left;">
Sebab itu, pada batas tertentu mereka bukanlah barisan manusia kalah. Barangkali keyakinan mereka sebagaimana pemerian Paul Tillich: “Keberanian adalah peng-iya-an dan afirmasi diri ketika kita tidak ber-ada." Maka, ketiadaan/ kematian akhirnya mereka sambut bukan sebagai afirmasi atas kegentaran terhadap mati, melainkan hanya sebagai satu-satunya langkah sublim menyambut ketiadaan. Mereka seperti orang-orang bebas lainnya, betapa mereka memandang hidup itu bukan hal-hal biasa dan sewajarnya. Kehidupan kadang menjelma bak sebujur jasad sakit yang diluberi limpahan anakronisme; dusta, rekayasa, juga euforia di sekujurnya, di mana kebebasan harus selalu diperjuangkan. Untuk itu, hidup bagi mereka bukan irama harian yang melenggang tenang, melainkan jalan berliku penuh kerikil dan kegelisahan. Siapa berani menantang hidup, harus berani menenteng kematiannya. “Berani hidup tak takut mati, takut hidup mati saja”. Begitulah mungkin aforisma orang bijak yang pantas untuk mereka. Frase ini terasa subtil untuk menyambut tibanya ajal, terlebih saat kematian berbalik menggentarkan. Sekali berarti, sudah itu mati, tegas Chairil.</div>
<div style="text-align: left;">
Kematian memang akhir dari pergulatan hidup. Ending dari drama kehidupan manusia. Tapi bagi Chairil, Pram, juga Mahfud kehidupan yang tunai oleh buah kemanusiaan yang telah disepuh dengan berbagai lembar kisah tragis kehidupan itu, dengan beberapa episode yang berlalu silih berganti, bukanlah akhir yang berkesudahan. Ia tak harus ditangisi dan dirutuki sedih. Biarlah ia lari ke uzurnya, karena memang tak ada guna untuk digerutui. Seperti kata Chairil: kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu. Karena, sebagai “binatang jalang”, ia ingin tetap meradang menerjang, tanpa rayuan apalagi sedu sedan.</div>
<div style="text-align: left;">
***</div>
<div style="text-align: left;">
Ingat akan mati mungkin memang satu-satunya jalan adiluhung saat perjalanan manusia di dunia ini didapati hanya melacurkan diri dalam dusta-dusta peradaban, kebudayaan, kesejarahan, dan seterusnya yang ujung-ujungnya mendustai dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan yang hakikatnya dibekali beban sekaligus amanah besar (khalifatullah fi al-ardh) menjaga kosmik tetap lestari dan seimbang. Pada tahap ini, ada beberapa momen berharga yang patut dibentangkan dalam gelaran peristiwa kelahiran sekaligus perkabungan manusia -mengutip kata hukama' (ahli hikmah): "jadikanlah kelahiranmu dipenuhi derai senyum kegembiraan yang mengembang. Dan kelak, saat tiba ajal kematianmu, jadikanlah manusia yang menghadirinya semata berkeinginan merayakan bersama ratap tangis, sembari tak putus-putus mengingat jasa-jasa yang kau toreh pada sejarah hidupmu". Bisa jadi, inilah kredo puitis bagi yang hidup hendak bersiap mati. Wallahu 'alam</div>
<div style="text-align: left;">
</div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: <i>Misbahus Surur, peminat sastra, mahasiswa S-2 UIN Maliki, Malang</i></div>
<div style="text-align: left;">
(dimuat <i>Lampung Post</i> 11 April 2010)</div>
<div style="text-align: left;">
</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-36796301650587620502010-04-13T11:20:00.000-07:002012-12-13T10:29:50.733-08:00Menelisik Formalisme Arab<div style="text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi41ISqxRStu98MsiI1dG8oLPG7NSf3hWfX7Icps_CVzVdFhcA3kZDLPJkr33sVDJ4fuz6hTMpdm4RUMeVj2ZCAF-7-Jn5cTJo7OrY1ktD2ESiCr4q6Akp5d9Dzld3JfXQUhoex3dTxbH4/s1600/22358_1104325427777_1815994777_210332_4484594_a.jpg" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5459689721963853282" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi41ISqxRStu98MsiI1dG8oLPG7NSf3hWfX7Icps_CVzVdFhcA3kZDLPJkr33sVDJ4fuz6hTMpdm4RUMeVj2ZCAF-7-Jn5cTJo7OrY1ktD2ESiCr4q6Akp5d9Dzld3JfXQUhoex3dTxbH4/s320/22358_1104325427777_1815994777_210332_4484594_a.jpg" style="cursor: hand; cursor: pointer; display: block; height: 269px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 180px;" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
Judul Buku: Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern</div>
<div style="text-align: left;">
Penulis : Sukron Kamil</div>
<div style="text-align: left;">
Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta</div>
<div style="text-align: left;">
Cetakan : I, 2009</div>
<div style="text-align: left;">
Tebal : xxviii + 265 hlm<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
KELAHIRAN karya sastra bak kelahiran anak manusia, ia muncul begitu saja di tiap-tiap jenjangnya, tanpa terikat oleh adanya sebuah aturan. Namun, tanpa kritik sastra yang memadai karya sastra terkesan tak berimbang. Sebab, munculnya karya sastra dan kritik, lazimnya berjalan beriringan, sehingga tercipta iklim sastra yang hebat.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Dalam ranah kesusastraan Arab, kritik sastra menjadi keniscayaan saat kerja sastra hanya menandaskan pada capaian produk (tifitas) karya; semisal pertaruhan kualitas literer juga keberanian menerjang mainstream, tanpa mempelajari substansi kritik (naqd) yang sebanding-searas. Sebab itu, kritik sastra tampil, salah satunya bertujuan menilai, menjadi juri untuk menimbang sebuah karya (sastra) berdasarkan kadar ukuran-ukuran tertentu.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Setidaknya ada beberapa fungsi kritik yang dipetakan buku ini. Kritik perlu ada antara lain sebagai entitas penjelas sebuah karya, terlebih saat sebuah karya sering hanya menyembunyikan ihwal di balik apa yang tersurat. Di situ, urgensitas kritik diperlukan justru karena karya sastra bukan semata-mata interpretasi objektif sang pengarang, melainkan karena masih menjadi interpretasi subjektif bagi seorang sastrawan, yang bisa jadi tak mudah untuk difahami pembaca. Tentu, ini selain fungsi kritik sendiri berguna untuk meningkatkan kualitas literer (karya) sastrawan pemula.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Dalam sejarah sastra Arab, perkembangan kritik bermula dari sejarah karya sastra yang digantung-pajangkan di dinding Kakbah sehabis dipentaskan di Pasar Ukaz. Karya seperti itu lazim disebut al-mu'allaqat. Pekan Raya Ukaz yang berlangsung sejak masa jahiliyah itu bukan saja menjadi arena jual-beli aneka barang dagangan, melainkan juga menjadi ajang demonstrasi adu syair antarberbagai penyair dari seluruh pelosok Jazirah Arab. Hal ini menandai betapa iklim sastra sekaligus laju kritiknya saat itu, berkembang pesat.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Muhammad al-Rabi' dalam buku, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, setidaknya pernah mencatat ada beberapa kritikus yang melakukan kritik kala itu. Mereka itu seperti Al-Nabigah al-Zibyan yang pernah mengkritik Hasan bin Tsabit soal ketidaktepatannya dalam menggunakan diksi. Kemudian, lahir para kritikus seperti Abu Umar dan al-Usmu'i, sekitar abad kedua hijriah, yang me-review banyak syair jahiliyah dan melakukan studi banding antara satu syair dengan syair yang lainnya. Bahkan buku Kodifikasi Syair al-Usmu'i karena unsur ketelitiannya, dinilai para ahli sebagai buku yang paling memiliki akurasi sastra Arab jahiliyah.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Selanjutnya di abad ketiga hijriyah, muncul kritikus seperti Ibnu Qutaibah yang menulis Al-Syi'r wa al-Syu'ara dan Al-Jahizh yang menulis Al-Bayan wa al-Tabyin. Nabi sendiri suatu kali pernah melakukan kritik terhadap syair-syair haja' (ejekan) yang diluapkan Hassan bin Tsabit, Ka'ab bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah, sewaktu mereka melawan syair haja' kaum Quraisy (hlm 56--57).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Selama ini seakan terlihat teori kesusastraan Barat begitu dominan dalam kajian-kajian sastra, termasuk sastra Arab. Padahal kalau kita telusuri, kekayaan perangkat teoritik tradisi Arab sebenarnya tak kalah mentereng. Dalam sejarahnya, karya sastra di luar Barat, yakni tradisi formalisme Arab justru lahir jauh sebelum tradisi formalisme Barat (Rusia) muncul.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Formalisme Arab lahir di abad klasik bersamaan dengan munculnya kajian sastra Arab dengan analisis ilmu balaghoh. Di mana balaghah (formalisme Arab) ini, dalam tradisi kesusastraan Arab digunakan sebagai alat untuk meneliti tindak keindahan bahasa.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Tokohnya semisal Al-Jahiz yang memandang keindahan lafaz (bentuk) sebagai hal yang penting mendahului makna (substansi/isi). Ini juga bisa dibuktikan dengan lahirnya ilmu 'arud, yang pertama kali disusun oleh Khalil bin Ahmad (170 H). Sebuah ilmu yang membahas kesesuaian akhir kata/rima (qafiyah) dan juga ritme/metrum kalimat (wazan/bahr) dalam jagat perpuisian Arab (as-sya'ir Arabi).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Buku ini cukup komprehensif, terlebih ketika mengulas sejarah teori kritik sastra Arab. Selain dilengkapi kajian teoritik mulai teori klasik, romantik, realisme, simbolisme hingga semiotik dan hermeneutik yang mewarnai sejarah sastra Arab, juga ditopang dengan pemetaan karya sastra dan leksikon sastrawan di masa itu hingga sekarang. Terlebih buku ini juga disertai kesimpulan-kesimpulan padat yang tentu amat berguna untuk memudahkan memahami gagasan-gagasan besar di setiap babnya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sayangnya, penulis buku ini tak menyertakan kajian perspektif feminis, postkolonial dan dekonstruksi sebagai sebuah kajian teoritik yang juga sama-sama besar. Meski begitu, pembaca tetap bisa menikmati detail keseluruhan textbook ini, karena ulasannya yang lengkap dibarengi contoh kritik yang memadai, lebih-lebih bagi Anda para pegiat teori dan kritik sastra Arab.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, mahasiswa S-2 pendidikan Bahasa Arab, UIN Maliki, Malang.</div>
<div style="text-align: left;">
(Pernah dimuat Lampung Post, Minggu 3 Januari 2010)</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-88437319028472156432010-04-13T11:15:00.000-07:002012-12-13T10:30:28.270-08:00Satire Barthes atas Tulisan<div style="text-align: left;">
KITA tahu, Roland Barthes adalah sosok pemikir petualang yang sepanjang karirnya tak pernah berhenti memprovokasi pembaca dengan sokongan prinsip-prinsip gagasan baru. Membaca pikiran-pikiran Barthes -misalnya, mengenai dunia penulisan dan gejalanya atau tentang dunia kesusastraan berikut perkembangan kritiknya- kita seperti diajak berpikir-merenung lebih cerdas namun tetap asyik, sublim, dan konsisten. Karena itu, setiap buku barunya seolah mendedahkan ragam persoalan baru dengan sendirinya.</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Pemikirannya kerap menikung dari arah yang tak terduga, seakan memang ada begitu banyak kilauan yang memikat dan menarik dari karya-karyanya. Salah satu hal menarik itu adalah konstruksi barunya atas teks/tulisan. Hal itu bermula ketika Barthes mencurigai dan mempersoalkan hakikat gagasan yang terajut dalam tulisan sebagai ''yang tak otentik/asli''. Persoalan itu jugalah yang kemudian mendasari salah satu pemikirannya ihwal keaslian (orisinalitas) tulisan. Meski dalam tahap tertentu, ide tersebut terasa sangat dilematis.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Secara ideal, makna keaslian (orisinalitas) tulisan memang belum beranjak dari kemampuan seorang pengarang (author) untuk mengeramkan anasir kebaruan dalam gagasan. Dalam pemaknaan lu(g)as, sebuah karya literer dapat dikategorikan orisinal sejauh ia mampu mewartakan otentisitas gagasan; belum pernah muncul pada tataran sebelumnya. Namun, alih-alih menelurkan gagasan yang menyokong pendapat itu, Barthes seakan mengelak dan berbalik mengutarakan hal yang ambivalen. ''Tulisan orisinal tidak ada dan tidak akan pernah ada,'' kata Barthes (S.T. Sunardi, Semiotika Negativa, 2004).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Bagi Barthes, satu-satunya kekuatan yang dimiliki pengarang (author) atas tulisan yang dia tatah hanyalah menggunting dan menggabungkannya dalam sebuah rangkaian; mempertemukan berbagai potongan tulisan pada papan atau momen yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Di hadapan Barthes, sungguh orisinalitas tak pernah diam-mengendap dalam diri pengarang, melainkan hanya pada bahasa yang digunakan untuk mengemas tulisan (text). Dengan kata lain, meskipun sekadar cangkang, sebuah ide/gagasan sungguh tak dapat lepas dari tautan bahasa.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Menurut Barthes, persoalan orisinalitas tidak berhubungan dengan muatan kebaruan dalam tulisan (dalam ide atau gagasannya), melainkan hanya berkait dengan urusan rajut-merajut berbagai tulisan. Semacam rangkaian bahasa yang ter-update. Begitu pula, anggun dan adiluhungnya pikiran seseorang yang selama ini kita anggap baru, kata Barthes, bisa jadi hanya karena polesan bahasanya yang baru. Pendek kata, warna gagasannya yang dicat mengilap, selebihnya -ihwal substansi tulisan- tak pernah mengilau alias tak pernah menyatakan hal baru. Alasannya, karya cipta yang dihamparkan pengarang barangkali tak (pernah) ditatah secara otonom. Pada titik itulah Barthes seperti mengafirmasi kata-kata orang bijak pada sebaris parafrasa berikut: ''Tidak ada yang baru di bawah kolong langit''.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sejauh dalam idealitas Barthes, hanya pada bahasa, transportasi ide/gagasan berlangsung. Gagasan akan bergerak efektif atau tidak, gampang memproduksi realitas baru atau terhambat, berkelindan dengan watak bahasa sebagai wadahnya. Dalam ranah kajian budaya (cultural studies), kegiatan seperti itu terengkuh oleh analisis struktural, dengan pertanyaan "how it is made", bagaimana sebuah teks terbentuk? Sebuah pertanyaan yang menandaskan wewenang teks untuk terfragmentasi hingga pada bagian-bagiannya yang terkecil. Sebab, sebelum dipecah, teks dalam posisi menyatu. Dan, setelah melalui tahap dan prosedur tertentu, lazim memang kembali menyatu atau disatukan. Mungkin, hanya proses seperti itulah yang dapat membuat sebuah tulisan menjadi baru/orisinal.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
***</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Lantas, bagaimana dengan klaim orisinal yang menandaskan syarat atau kriteria sebagai ''yang jauh dari tiruan", yang juga berarti kebaruan? Persoalan ''orisinal'' ini tentu saja menjadi sebujur kegusaran tersendiri. Bagaimana tidak, di satu pihak ia tetap kukuh mempertahankan pemaknaan yang benar-benar baru secara kemasan, lebih-lebih dalam gagasan. Sedangkan di pihak lain -termasuk Barthes- mengatakan sebaliknya. Walhasil, orisinalitas mungkin memang butuh pemaknaan ulang. Bahkan secara telak menyangkut kesungguhan analisis dan riset mendalam ihwal suatu masalah. Atau bisa jadi, hanya sebuah gagasan yang menyuarakan realitas sesungguhnya; orisinalitas harus bergantung dan menumpu sepenuhnya dari seberapa jauh kemampuan gagasan yang terbentuk melalui rajutan teks itu berdaya gema; seberapa jauh ia menjawab problematika, bagaimana cara beroperasinya; dan seterusnya. Di samping juga tetap tak lepas dari kemasan bahasa yang benar-benar ranum. Bukankah ide orisinal itu mestinya tak cuma berdegup-mendengung di ruang hampa?</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sayang, arus dan tradisi seperti itu kian hanyut dan bahkan tenggelam oleh senarai dekapan formalitas, godaan gimmick, serbuan prinsip-prinsip cipta dekaden, serta keringnya ikhtiar kreatif yang ujung-ujungnya terkapar oleh watak snobisme. Padahal, peran penting yang "seharusnya" diambil seorang pengarang -yang mulanya ditahbiskan pembaca sebagai satu-satunya subjek yang punya otoritas terhadap makna teks- betapa kian pelik dan terjal. Maka, ketika makna orisinalitas tulisan yang serba disiniskan Barthes sulit ditemukan, paling tidak dan selayaknya termaknai sebagai suatu rajutan yang dibarengi dengan perbalahan panjang serta olah pikir tak kenal henti; kesungguhan eksperimen dan kedalaman riset atas realitas sosial dan problematikanya.</div>
<div style="text-align: left;">
Oleh Misbahus Surur</div>
<div style="text-align: left;">
(Pernah terbit di Jawa Pos, Minggu, 27 Desember 2009)</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-3993073204859862182009-12-01T04:21:00.001-08:002012-12-13T13:48:29.689-08:00Menegasikan Renaissance di Eropa<div style="text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGBp-O4yMqncWulZSe3joqztOhYPsPaIIUKK2YJtaI8t23HAngSuc2DZqWC35eYM8raB_PoazloATIwE6yusl-V9VGq9Msth_L1-egSaOJAfcmlo0M7Wt2MnTHcziFXB8LwaSLx8S3a7Q/s1600/untitled.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5410246890656886594" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGBp-O4yMqncWulZSe3joqztOhYPsPaIIUKK2YJtaI8t23HAngSuc2DZqWC35eYM8raB_PoazloATIwE6yusl-V9VGq9Msth_L1-egSaOJAfcmlo0M7Wt2MnTHcziFXB8LwaSLx8S3a7Q/s320/untitled.JPG" style="cursor: hand; cursor: pointer; display: block; height: 320px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 202px;" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
Judul Buku :1434; Saat Armada Besar China Berlayar ke Italia dan Mengobarkan Renaisans</div>
<div style="text-align: left;">
Judul Asli : 1434; The Year a Magnificent Chinese Fleet Sailed to Italy and Ignited the Renaissance</div>
<div style="text-align: left;">
Penulis :Gavin Menzies</div>
<div style="text-align: left;">
Penerjemah :Kunti Saptoworini</div>
<div style="text-align: left;">
Editor :Indi Aunullah</div>
<div style="text-align: left;">
Penerbit :Pustaka Alvabet, Tangerang</div>
<div style="text-align: left;">
Cetakan : I, 2009</div>
<div style="text-align: left;">
Tebal : xvii + 430 hlm<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Masihkah kita percaya bahwa manusia pertama yang mengelilingi dunia adalah Magellan, jika ternyata sebelum penjelajah laut Eropa itu mengarungi samudera tahun 1519, diduga ia pernah melihat (bahkan berbekal) sesobek peta yang menurut sumber buku "1434; The Year a Magnificent Chinese Fleet Sailed to Italy and Ignited the Renaissance (diterj. Kunti Saptoworini: 1434; Saat Armada Besar China Berlayar ke Italia dan Mengobarkan Renaisans)", pernah dibuat oleh Martin Waldseemuller bertahun 1507, juga Johannes Schomer di tahun 1515; dua orang kartografer yang belakangan diketahui tidak pernah mengarungi samudera ataupun punya tradisi kebaharian sama sekali. Kebimbangan yang sama akan kita lekatkan pada Columbus dan kapten Cook; dengan pertanyaan yang hampir sama, benarkah masing-masing adalah penemu benua Amerika dan Australia?</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Inilah sehimpun fakta lain yang diajukan Menzies, penulis buku dengan judul di atas. Menurut Menzies, jauh sebelum Eropa mengalami puncak Renaissanse, di belahan dunia Timur (China), sebuah peradaban maju dengan capaian pengetahuan tingkat tinggi yang sungguh megah telah dahulu terpancang. Bahkan, buku tersebut mengklaim bahwa Eropa kala itu mendapat suntikkan besar-besaran berbagai jenis pengetahuan dari China. Pendek kata, Eropa bisa menjelma seperti sekarang, karena mencecap putik modernitas dari China. Rangkaian fakta itu misalnya, sebagaimana yang dikukuhkan oleh Theodore A. Wertime dalam buku The Coming of the Age of Steel, pada Bab “Asian influence on European Metallurgy”, peleburan besi dan baja dengan model pembakaran untuk memperoleh kualitasnya yang keras dan kuat, sebagai bahan dasar pembuatan senjata api, bukanlah ide orang-orang Eropa. Tetapi karena semata-mata sumbangsih dan pengaruh pengetahuan China. Di mana China kemudian juga memperkenalkan persenjataan canggihnya ke Eropa, seperti bubuk mesiu, bazoka, mortir, selongsong, peledak, roket dan meriam.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
Kita ambil misal mengenai riwayat penemuan bubuk mesiu, ini bermula dari pencarian para alkemis China terhadap “aliksir” (sebuah obat mujarab), melalui riset-riset sederhana. Penemuan ini terjadi di zaman dinasti Tang yang kemudian disempurnakan pada masa dinasti Sung. Mulanya mereka berminat meneliti sulfur, sendawa dan arang. Para alkemis itu, yang pada awalnya mengira sulfur dan cendawa dapat dipergunakan sebagai obat infeksi kulit, malah mendapati sulfur sebagai materi yang mudah terbakar. Setelah mereka mencoba menambahkan campuran sendawa guna mengontrol volatilitasnya, dengan jalan menimbulkan pembakaran parsial, yang bertujuan mengendalikan terbakarnya sulfur. Setelah pada tahap sebelumnya menambahkan arang pada campuran sendawa-sulfur. Sungguh tak disangka, terciptalah ledakan-ledakan. Inilah riwayat orang-orang China menemukan bubuk mesiu, jauh sebelum peradaban Barat mengembangkannya beberapa tahun kemudian.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
Demikian pula dalam ilmu percetakan, sepanjang ini ingatan kita akan terhenti pada sosok penemu Eropa berkebangsaan Jerman, Johannes Gutenberg. Atau bahkan pengakuan sebagian orang Eropa akan sosok bernama Laurens Jonszoon Coster, yang dianggap pencipta mesin cetak sederhana sebelum Gutenberg (1440). Padahal mesin cetak (balok) pertama dibuat oleh orang China. Mesin yang kemungkinan diciptakan antara masa dinasti Sui dan Tang itu, didasarkan pada teknik memindahkan teks dan gambar yang dicukil dalam bentuk gambar timbul pada cap dan pilar batu ke permukaan lain. Ini dikuatkan oleh riset Blaise Aguera Y Arcas dan Paul Needham dari Universitas Princeton, yang menemukan bukti dan kenyataan bahwa Injil Gutenberg, demikian pula buku-buku pertama buatan Gutenberg, tidak dibuat dengan menggunakan mesin cetak balok bergerak. Tentu jika informasi kedua peneliti ini benar, maka terpatahkanlah klaim Gutenberg sebagai penemu mesin cetak, yang sepanjang ini telah jadi pengetahuan umum saat kita masih duduk di bangku sekolahan.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
Kemajuan mesin cetak China ini pada tahap selanjutnya diteruskan dengan diciptakannya mesin cetak bergerak oleh Bi Sheng sekira tahun 1051. Setelah itu juga ada yang membuat balok pencetak yang dicukil dari kayu. Hasilnya, misalnya, sekitar tahun 1313, Whang Zhen, seorang ahli agronomi dari masa dinasti Yuan mencetak karya monumentalnya, Nung Shu (Risalah Tentang Pertanian) menggunakan balok kayu cetak bergerak, yang merupakan penyempurnaan dari beberapa penemuan di atas. Bahkan, Leonardo da Vinci mempelajari serangkaian gambar, mesin dan ilmu teknik yang mengagumkan di Florensia (Italia), dengan berbekal buku salinan “Nung Shu” karya Whang Zhen tersebut.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
Bukan itu saja, Galileo Galilei, orang Eropa pertama yang dianggap menemukan teleskop canggih dalam bidang astronomi, di mana ia mematahkan gagasan Ptolemeus yang mengatakan bumi sebagai pusat alam semesta, sekaligus juga meruntuhkan ortodoksi Gereja, ternyata jauh sebelum itu, sekitar tahun 364 SM, seorang astronom China, Gan De, telah mendahului Galileo. Begitu pula apa yang ditemukan Johannes Kepler mengenai tiga hukum pergerakan planetnya, betapa itu sama sekali tak ada bedanya dengan apa yang digagas astronom China, Guo Shoujing tiga abad sebelumnya.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
China memang menyimpan serpihan-serpihan pengetahuan dan teknologi yang teramat mengagumkan. Bukti itu sekarang bisa dilihat, misalnya pada kecanggihan seni arsitektur dan rancang bangun Tembok Besar, Kota Terlarang, dan yang tak kalah megah adalah pembuatan Kanal Besar yang telah memakan waktu ribuan tahun, sampai-sampai sang penjelajah lautan, Marco Polo pun terkagum-kagum. Tentu selain China juga dikenal sebagai negara industri sutra yang berkualitas tinggi. Maka, pantas saja bila dulu Nabi Muhammad SAW sempat berpesan untuk menimba ilmu pengetahuan meski sampai ke negerinya Sun Yat Sen ini.</div>
<div style="text-align: left;">
Adapun kemajuan Barat (Eropa) saat itu, sesungguhnya baru dimulai ketika pada tahun 1434 laksamana Cheng Ho bertolak dalam pelayaran mengelilingi dunia, yang juga sempat berkunjung ke beberapa wilayah di dunia seperti Malaka, Jawa, Alexandria, Kairo hingga Vanesia dan Florensia (Italia). Menurut keterangan Paolo Toscanelli, duta besar China ini (Cheng Ho) sampai di Florensia di masa pemerintahan Eugenius IV. Inilah tahun pertama kali China mengobarkan renaisans di Eropa. Di mana 18 tahun kemudian dengan peta kiriman Toscanelli, Cristopher Columbus dan tokoh-tokoh setelahnya baru memulai penjelajahan samudra, jauh setelah armada China mengelilingi dunia.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
Penjelajahan dunia oleh orang-orang China ini pada mulanya adalah sebuah proyek dan misi besar. Proyek mega raksasa yang dikepalai navigator ulung Cheng Ho ini dengan membuat dua ribuan armada kapal. Kabarnya -seperti yang diinformasikan oleh Menzies-, proyek ini hingga berakibat pada penggundulan hutan di China. Bahkan sampai menjarah hutan negeri tetangga, seperti Vietnam. Sedang misi pelayaran mengarungi dunia itu adalah ambisi besar sang kaisar untuk membawa seluruh dunia ke dalam harmoni Konfusius dengan kerangka sistem upeti. Sasarannya seantero jagad, termasuk wilayah-wilayah Barat yang dihuni “kaum barbar berhidung panjang” –sebutan mereka untuk orang-orang Barat, Eropa- (hlm. 2). Kebijakan ini terjadi di masa kaisar Zhu Di hingga masa kaisar Zhu Zhanji. Bahkan kaisar Zhu Zhanji secara sadar menyatakan, mundurnya China dari posisinya sebagai Ratu lautan akan memiliki dampak buruk, -termasuk kenyataan bahwa kaum barbar (Eropa) akan menghentikan pembayaran upeti. Inilah rupanya salah satu misi mereka mentransfer pengetahuannya ke Eropa tahun 1434. Dengan mengajari beragam pengetahuan seperti bahari, navigasi, geografi, astronomi, kartografi, percetakan, persenjataan juga ragam pengetahuan lain yang dianggap penting dalam pelayaran. Tujuannya tidak lain supaya Eropa dapat menyerahkan upeti sendiri langsung ke China dengan modal pengetahuan itu.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
Terkait sejarah pelayaran orang-orang China ini, Menzies juga memaparkan sejumlah bukti mencengangkan. Bukti puncaknya adalah ketika tahun 2003 silam, Cedrik Bell, seorang insinyur yang tekun dan disiplin melakukan penelitian mandiri dengan bantuan anomali magnetik di selatan pulau Selandia Baru, melontarkan sebuah penemuan akan kemungkinan kapal dalam jumlah besar pernah kandas dan remuk di pesisir tenggara pulau itu karena terjangan tsunami. Awaknya yang bertahan hidup dapat mencapai pantai dan membuat barak batu sebagai tempat tinggal. Mereka menanam padi, membuat tambak ikan juga merangkai alat pelebur logam untuk membuat besi. Padahal suku pertama yang dianggap mendiami Selandia Baru, yakni suku Maori, tidaklah melebur besi. Bahkan pada bab terakhir buku "1434; The Year a Magnificent Chinese Fleet Sailed to Italy and Ignited the Renaissance" ini, Menzies sempat menyinggung berbagi kemungkinan yang masih diselimuti kabut misteri. Misalnya, munculnya jejak peradaban besar di selatan Amerika (selain peradaban suku Inca dan Maya) yang juga punah, sebab hempasan gelombang tsunami. Sebagaimana itu juga menimpa armada Cheng Ho, saat memasuki benua Australia.<br />
</div>
<div style="text-align: left;">
Buku ini sunggguh memaparkan begitu banyak informasi baru dan setumpuk bukti pelayaran bangsa China menjelajahi dunia. Kendati pertemuan sang navigator ulung yang juga seorang muslim (Cheng Ho) dan wakil daerah Florensia (Italia) saat itu, tak direkam secara lebih detail oleh Menzies. Gambaran sederhana dari pertemuan itu hanya akan kita peroleh dari ulasan Menzies melalui surat-surat Toscanelli, yang mengakui kedatangan Cheng Ho di negerinya, Florensia. Meskipun begitu, penjelasan yang lebih komprehensif akan kita dapatkan bila kita juga membaca karya Menzies sebelumnya, yang diterjemahkan dengan judul 1421: Saat China Menemukan Dunia (Pustaka Alvabet, 2007). Selamat membaca.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, peminat sejarah, sekolah S-2 di UIN Malang</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-39896424027787398122009-04-07T08:52:00.001-07:002012-12-13T10:36:10.093-08:00Jalan Terjal Bung Kecil<div style="text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsGwKY1QbkVxz5e02RUkkc25U977cTLmV3VdwwxW60qffuipapsi5GwMyi7vHMs0jQny8mFqnMl4FuzhOKeMv1t7PAFxK7mM5nfFlb8y2YGbIXF0jQHBhorpOcZbybodcd_CGet-T8QaY/s1600-h/Sjahrir.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5332719473730385202" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsGwKY1QbkVxz5e02RUkkc25U977cTLmV3VdwwxW60qffuipapsi5GwMyi7vHMs0jQny8mFqnMl4FuzhOKeMv1t7PAFxK7mM5nfFlb8y2YGbIXF0jQHBhorpOcZbybodcd_CGet-T8QaY/s200/Sjahrir.JPG" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Jalan diplomasi rupanya bagi sebagian orang masih bisa menyisakan celah pincang. Bahkan dalam rentang sejarah bangsa ini, ada beberapa tokoh yang antipati dan menentang habis-habisan jalan atau cara-cara seperti itu. Sebut saja, salah satunya dan yang paling keras adalah Tan Malaka. Dalam skala besar mencapai kemerdekaan negeri ini, ia adalah sosok yang sangat anti pada cara-cara diplomasi, kooperatif atau jalan persuasif semacamnya. Mengenai jalan yang ditempuhnya itu, Tan telah menunjukkan dirinya sebagai tipikal manusia yang anti imperialisme murni. Ia pernah berujar: “Bangsa Indonesia yang sejati belum punya riwayat sendiri selain perbudakan.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum imperialis”. Beberapa buah pikirannya mengenai langkah-langkah jitu mencapai kemerdekaan negeri ini, telah ia rangkum dan terdokumentasikan secara apik dalam buku, semisal “Merdeka 100%” dan ”Naar de Republiek Indonesia”. Namun berbeda dengan Tan, Sutan Sjahrir punya cara sendiri untuk menggapai revolusi negerinya. Meskipun peran Bung kecil ini, --demikian dulu ia akrab disapa (mungkin karena ukuran badannya yang terlampau mungil), dalam panggung sejarah, sering disiniskan tokoh-tokoh seangkatannya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sjahrir adalah sosok dengan seabrek ide-ide brilian yang seringkali dinilai paradoksal dan melawan arus. Seolah tak sejalan dengan cara-cara dan berbagai usaha perjuangan tokoh-tokoh sezamannya. Bisa jadi, ini berkait dengan pengaruh pendidikan Belanda yang dienyamnya, begitu pula beberapa organisasi pergerakan yang pernah diikutinya. Karena bagaimanapun, pendidikan ala Leiden yang telah ia raih itu, meskipun tak selesai, sedikit banyak telah mem-Baratkan gagasan-gagasannya. Sebagaimana kata teman politiknya, Salomon Tas, yang juga ketua perkumpulan mahasiswa sosial Amsterdam, saat itu: ”Kepribadian Sjahrir telah berkembang dalam iklim Barat”.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Seluk beluk serta pergaulan luasnya dengan beberapa organ kiri di Belanda seperti misalnya, lingkungan mahasiswa sosial ASDSC (<i>Amsterdam Sociaal Democratische Studenten Club</i>) dan partai sosialis SDAP (<i>Social Democratische Arbeider Parti</i>j) yang dikomodori Sneevlit, tak pelak membikinnya tahu siasat apa dan cara bagaimana yang harus ia lakukan untuk melawan bangsa kolonialis Belanda. Kendati bagi sebagian orang nantinya, kerap pula langkah-langkah perjuangannya itu dicap lembek dan terlampau elitis. Pengalaman politiknya dalam partai-partai sosialis, semacam SDAP, dalam kadar tertentu sangat berpengaruh besar pada gerakan politik Sjahrir. Kalau ditelisik dalam panggung sejarah Indonesia, partai inipun (baca: SDAP) ternyata ikut menyumbang gagasan lahirnya kebijakan baru Belanda di tanah Hindia, yakni ”Politik Etis” tahun 1895. Menggantikan kebijakan sistem Tanam Paksa (<i>Cultuur Stelsel</i>) yang dinilai sangat menyengsarakan rakyat. Meskipun dalam beberapa hal, kebijakan etis itu tak terlalu signifikan menanggulangi penderitaan rakyat negeri jajahan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sebenarnya ada beberapa pemikiran yang membikin Sjahrir menjadi seperti itu. Semuanya berangkat dari kecintaannya pada negeri ini. Misalnya, ketika mengambil sebuah tesis -yang nantinya berpengaruh besar pada tiap-tiap kebijakan yang akan ia ambil-, khususnya saat ia menjabat sebagai perdana menteri. Sedikit banyak ia memperhatikan perkembangan dunia luar, seperti iklim perpolitikan di Eropa dan Asia. Ia berpendapat bahwa nasion itu harus ditempatkan sejajar lebih tinggi dan lebih penting dari sebuah pribadi-pribadi (individualisme). Di sini, Sjahrir tak menafikan bahwa tiap negara adalah sarang bagi tumbuh kembangnya individualisme. Tentang nasionalisme, Sjahrir punya pemikiran yang lebih universal dari Soekarno. Jika Soekarno memaknai nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme yang khas dengan kepribadian Timur, Sjahrir punya pendapat lain. Menurut Sjahrir, nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara kolonialis dan inlander (<i>de projectie van het inferioriteits-complex</i>, 10 hlm. 178, dalam Daniel Dhakidae, 2009). Dalam arti yang agak lugas, nasionalisme juga dimaknai Sjahrir sebagai lahan laten berkembangnya bibit keserakahan dan nafsu berkuasa.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Garis politik Sjahrir ini tercermin lewat beberapa buku. Misalnya dalam buku ”Renungan dan Perjuangan”, ia melontarkan kritik tajam terhadap politik moral para pemimpin saat itu. Ia mengatakan: ”Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi”. Sjahrir juga meyakini, persekutuan nasionalisme dengan individu dapat menghasilkan anak haram otoritarianisme. Karena itu, ia berharap nasionalisme harus tunduk pada sesuatu yang membuatnya tidak otoritarianis, totalitaris, diktatoris dan seterusnya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Langkah-langkah yang selanjutnya terlihat sangat kontroversial dari Sjahrir dalam memainkan keyakinannya ini, misalnya adalah pada perundingan Linggarjati. Perundingan yang ia ikhtiarkan sebagai batu loncatan menuju tangga revolusi dan kemerdekaan Indonesia itu, dinilai banyak pihak sangat merugikan Indonesia. Kendati sesungguhnya manfaat itu baru bisa dirasakan setelah itu, ketika diteliti dan diapresiasi pada saat-saat sekarang ini. Manfaat itu dalam skala global misalnya, bergeraknya persoalan Indonesia ke ranah internasional ketika sebelumnya masih menjadi persoalan lokal (berkutat pada masalah intern Indonesia dengan negeri penjajah, Belanda).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Namun, beberapa langkah Sjahrir ini, khususnya bagi kaum revolusioner radikal atau kaum muda yang militan yang tak searus kerap menuai kecaman, dipandang sebagai langkah lemah yang kalah, menggadaikan negara bahkan sama sekali tak mencerminkan irama dan watak perjuangan saat itu. Terlepas dari itu, langkah ini (baca: menerjang <i>mainstream</i>), bagi Sjahrir dan kaum moderat yang sefaham, menjadi langkah taktis, yang selain tidak biasa tentu bukan sama sekali tanpa perhitungan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Dus, kendati keberbedaan perjuangan itu tak terpungkiri meniscayakan keragaman cara & langkah, namun dalam kadar tertentu punya titik temu; mengabdi pada rakyat dan mencapai Indonesia merdeka 100 %. Karena itu, bagaimanapun langkah serta gagasan perjuangan tokoh bangsa kita waktu itu, seperti Sjahrir dan tokoh-tokoh lain semisal Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Amir Sjarifoeddin, dan seterusnya, saat ini sungguh layak diteladani, lebih-lebih oleh para pemimpin kita dewasa ini, sebagai langkah adiluhung yang punya preferensi jelas untuk menjawab kondisi sosial rakyat Indonesia saat itu. Karena itu, memperingati 100 tahun Sutan Sjahrir, memaklumkan ingatan panjang akan retas sebuah watak perjuangan hibrida dan nilai kehidupan organik.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Toh meskipun di antara mereka (para tokoh itu), banyak yang berbeda dan berseberang jalan, nyatanya mereka punya niatan tulus memberikan sepenuh perjuangan dan pengabdian demi cintanya terhadap bangsa dan negara. Dan terlepas dari kelebihan serta kelemahan masing-masing, mereka adalah sosok yang meletakkan bangunan pikiran-pikirannya dengan fondasi berbagai masalah sosial bangsa & sengkarutnya. Lantas bagaimana dengan pemimpin-pemimpin bangsa serta para calon wakil rakyat kita saat ini? Sudahkah mereka merujuk pada alur hidup tokoh-tokoh bangsa itu. Adakah mereka telah benar-benar berkiblat pada gerak para <i>Founding Father</i> tersebut?</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, penghayat sejarah</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-85401414901263000852009-04-07T08:34:00.001-07:002012-12-13T10:36:46.715-08:00Jejak Berdarah Sang Penakluk<div style="text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-8gV-RNwLL4RbDbaKquEuSXPF8NcLOEHn78rn7XbauEgYfLwW6eh5NeSpdeV7Lbhd_aWb4WXHuhUaNWPjA5XvfzlI_NC7i9L7pV6yGinr1bVh1R34XZs5BXn8sf0Bq27ZO7YPJ8BL6Cg/s1600-h/4.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5321977764024043570" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-8gV-RNwLL4RbDbaKquEuSXPF8NcLOEHn78rn7XbauEgYfLwW6eh5NeSpdeV7Lbhd_aWb4WXHuhUaNWPjA5XvfzlI_NC7i9L7pV6yGinr1bVh1R34XZs5BXn8sf0Bq27ZO7YPJ8BL6Cg/s320/4.JPG" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Judul Buku : Jenghis Khan; Legenda Sang Penakluk dari Mongolia</div>
<div style="text-align: left;">
Judul Asli : Genghis Khan; Life, Death and Resurrection</div>
<div style="text-align: left;">
Penulis : John Man</div>
<div style="text-align: left;">
Penerjemah : Kunti Saptoworini</div>
<div style="text-align: left;">
Penerbit : Pustaka Alvabet, Tangerang</div>
<div style="text-align: left;">
Cetakan : Pertama, November 2008</div>
<div style="text-align: left;">
Tebal : 576 halaman<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Syahdan, awal 2003, mencuat segugus informasi pada jurnal bulanan, American Journal of Human Genetics. Sebuah tulisan bertajuk The Genetic Legacy of The Mongols, melaporkan penemuan penting adanya kesamaan pola gen pada populasi yang tersebar antara lautan Kaspia hingga Samudra Pasifik. Laporan itu adalah hasil riset dan kajian mendalam segerombolan ilmuwan genetika terhadap sampel pola DNA kromosom Y yang dimiliki sejumlah 2000-an pria di kawasan Eurasia. Singkatnya, mereka membuat kesimpulan cukup mengejutkan; ternyata dari 16 juta pria yang telah mereka teliti, merupakan bagian dari satu keluarga yang sangat besar.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Pada saat-saat pertama kali menyimpulkan akhir riset itu, Tatiana Zerjal, salah seorang peneliti, sempat bergumam: “Jenghis Khan!”. Meskipun pada awalnya dugaan tersebut mirip sebuah lelucon, dalam perjalanan waktu semakin banyak bukti (dari data-data yang telah ada), dan melakukan perhitungan untuk menentukan waktu dan tempat asal mula yang paling mungkin, bahwa keterangan itu merupakan penjelasan terbaik. Mereka berkesimpulan bahwa Jenghis dan bala tentaranyalah yang telah menyebarkan ciri genetika ini, dari penjuru China Utara sampai Asia Tengah antara tahun 1209 hingga kematiannya sekitar tahun 1227, saat mereka menginvasi daerah-daerah tersebut.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Jenghis Khan adalah tokoh sentral bangsa Mongol di abad 13. Sosok yang semasa kecil dikenal sebagai Temujin itu adalah seorang keturunan raja. Ayahnya, Yasugei, adalah seorang Khan (raja) yang mengepalai 13 kelompok suku Borjigin. Salah satu suku utama Mongol yang terkenal gagah perkasa. Saat ayahnya terbunuh dalam suatu kudeta perebutan kekuasaan suku Borjigin, Temujin baru menginjak usia 13 tahun. Karena itu, ia tidak pernah dianggap sebagai penggantinya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Ketika Temujin menginjak usia remaja, ia menjadi pemuda yang tangkas dan berani. Bakat kepemimpinan yang mengalir di tubuhnya, semakin kelihatan saat ia berumur 20 tahun. Suatu kali, secara diam-diam Temujin mengumpulkan kembali seluruh pengikut ayahnya dan melatih mereka dengan disiplin keras. Singkat cerita, ia balik menyerang bekas lawan politik ayahnya dan merebut kembali tahta Khan suku Borjigin. Tak berselang lama, ia berhasil pula menyatukan suku-suku Mongol yang hidup terpencar antara sungai Dzungaria dan Irtish. Bahkan pada tahun 1202, Huraltai --majelis besar suku-suku Mongol, menahbiskannya sebagai Khan bagi seantero orang Mongol, dengan gelar fenomenal: Jenghis Khan, atau Sayyid al-Mutlaq dalam bahasa Arab, yang berarti raja diraja.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Mengenai sejarah penghancuran-penghancuran yang pernah dilakukan Jenghis, tak banyak orang tahu. Mungkin sepanjang ini, porsi yang paling sering kita dengar adalah penyerangan mereka atas kota Bagdad, Irak. Karena itu, buku ini hadir mengkhususkan diri ihwal bangsa Mongol dengan informasi yang memikat. Dari buku ini kita akan segera membaca berbagai ulasan menarik terkait bangsa Mongol dan seluk beluk kehidupan mereka. Lebih-lebih, perbuatan holocaust mereka atas beberapa wilayah yang merentang dari China utara, China barat, Kazahkstan selatan, Tajikistan, Transoxania, Samarkand yang dulu merupakan wilayah dinasti Islam Khwarezm, hingga wilayah Timur tengah dan sebagian Eropa.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
”Belum pernah ada sebelumnya sebuah budaya yang memiliki dan menggunakan kekuatan untuk membinasakan seperti bangsa Mongol. Dan belum pernah juga sebuah budaya menderita sebagaimana yang tak lama lagi akan diderita dunia Muslim”, kata John Man, seorang travel writer ini.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Invasi dan sasaran Jenghis pertama adalah daerah-daerah tetangga. Tentunya, daratan China yang membentang luas itulah yang paling dekat. Padahal menurut John, yang juga penulis Gobi: Tracking the Desert (2001), China di abad 13 adalah wilayah yang terbagi atas tiga daerah dinasti besar yang kuat dan sedang bersaing ketat: Jin, Sung dan Xi Xia. Dari ketiga daerah ini, Xi Xia adalah titik terlemah yang diincar Jenghis. Negeri inilah kelak dalam catatan sejarah, negeri pertama yang digempur pasukan Mongol.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Penaklukan Baghdad</div>
<div style="text-align: left;">
Tahun 1258, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang sampai di salah satu pintu Baghdad. Setelah diblokade puluhan hari, dinding-dinding kota Bagdad yang kuat itu diserang pasukan Hulagu Khan (salah seorang cucu Jenghis Khan). Tak ayal, kebiadaan segera meledak. Pembantaian, penjarahan, pemerkosaan dan pembakaran berlangsung di mana-mana. Bala tentara Mongol menjarah dan menghancurkan masjid, istana, rumah sakit, bangunan kota, kanal-kanal, tanggul sistem irigasi juga bangunan bersejarah. Tak ketinggalan, perpustakaan di kota Baghdad pun dihancurkan pula. Yang mengenaskan, ribuan koleksi buku dibuang ke sungai Tigris hingga warna air sungai itu berubah hitam sewarna tinta. Para penakluk biadab itu membunuh sekitar 800.000 penduduk, termasuk khalifah Abbasiyah, Al-Musta’sim, keluarga besar beserta seluruh pembesar kerajaan. Dalam sejarah, serangan ini mengakhiri era kekhalifahan Islam yang gilang gemilang.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Penaklukan kota megapolitan Islam itu barangkali dapat mewakili keingintahuan kita akan peristiwa laknat sepanjang sejarah umat manusia. Kota seribu satu malam yang menurut deskripsi John, dirancang berbentuk lingkaran sempurna dengan dinding pertahanan rangkap tiga yang dijaga 360 menara, berukuran sama dengan Paris di akhir abad kesembilan belas, dengan kekayaan yang tidak kalah itu, luluh lantah. Padahal Bagdad kala itu menjadi magnet kaum pedagang, cendekiawan serta ratusan seniman yang datang dari berbagai penjuru, seperti Spanyol dan India Utara (hlm. 242).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sekitar tahun 1227, Jenghis Khan menemui ajalnya. Sebuah kematian yang rahasia, tak banyak orang tahu detailnya. Sampai sekarang kejadian yang hampir berumur 800 tahun itu masih menjadi mitos yang dikerumuni teka-teki. Diriwiyatkan, sebelum meninggal ia jatuh sakit gejala tifus. Sejarawan umumnya sepakat bahwa penyakit tersebut telah menjangkitinya, kurang lebih 100 kilometer selatan pegunungan Liupan, daerah Qing Shui, provinsi Gansu saat ini (hlm. 342-346). Dan, hingga hari ini, Jenghis Khan seperti menjadi sosok abadi yang terus hidup dalam gen seluruh keturunannya.</div>
<div style="text-align: left;">
Membaca sejarah Mongol ibarat menyaksikan sejarah kelam diorama pembantaian manusia. Sebuah riwayat kelam praktik genosida yang juga pernah terjadi di negeri ini, sebelum era tanam paksa. Yakni saat pembangunan jalan mega raksasa Anyer-Panarukan di masa Daendels. Nyawa rakyat kecil yang terpaksa ditumbalkan untuk pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer itu, menurut sumber Inggris, mencapai 12.000 jiwa. Sebuah praktik genosida yang tentu saja dapat kita sejajarkan dengan kekejaman bala tentara Jenghis saat itu.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Buku ini telah diracik penulis avonturir tersebut dengan riset pustaka sekaligus lapangan. Kian lengkap lagi tambahan rujukan dari dalam, The Secret History of The Mongols, yang diperkirakan telah berumur setua Jenghis. Karena itu, John Man tidak hanya handal mendiskripsikan bagaimana proses penaklukan yang dilakukan bangsa Mongol secara lihai dan mendetail. Lebih dari itu, ia juga menyembulkan sejarah penduduk dan keagungan peradaban kota-kota yang pernah dimusnahkan bala tentara Mongol.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, pembaca sejarah, kuliah S-2 di UIN Malang</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
(pernah dipublikasikan harian Jawa Pos, pada 29 Maret 2009)</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-40878836142698699822009-04-07T08:04:00.000-07:002012-12-13T10:37:30.542-08:00Lekra (Meng)gugat Sejarahnya<div style="text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtt5mLk5-CAmkC_hrC_zLwVdK77R3kdSmdeAsMQrRzhq9MJfWNJ7BQVK8MrQm2YCTbtOQvRQK-PrLKUz0srBp29Zikpa_dek7XaaK4XddQx79e9-OHXfvHkqGWD9DYkNDykMrl5q2-gv4/s1600-h/untitled2.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5321972611918469442" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtt5mLk5-CAmkC_hrC_zLwVdK77R3kdSmdeAsMQrRzhq9MJfWNJ7BQVK8MrQm2YCTbtOQvRQK-PrLKUz0srBp29Zikpa_dek7XaaK4XddQx79e9-OHXfvHkqGWD9DYkNDykMrl5q2-gv4/s320/untitled2.JPG" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Judul Buku : Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)</div>
<div style="text-align: left;">
Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M. Dahlan</div>
<div style="text-align: left;">
Penerbit : Merakesumba, Jogjakarta</div>
<div style="text-align: left;">
Cetakan : I, September 2008</div>
<div style="text-align: left;">
Tebal : 584 halaman</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Beragam fakta yang terbuka sumbatnya saat ini, tak ubahnya korban dari pemberangusan dan usaha penghilangan jejak sejarah di masa lampau. Beberapa gerakan yang sebenarnya dulu punya peran-peran besar menghantarkan arah demokrasi dan berkebudayaan demi memajukan masyarakat bangsa dan negara ke arah yang lebih baik; lepas dari belenggu kolonialisme senyatanya, kerap kena telikung dan agitasi negatif. Bahkan ibarat ajaran sesat, ia harus dipetimatikan dan digembok dari luar, biar tidak ada orang yang tahu tentangnya, apalagi coba-coba meminatinya kembali. Ulah seperti ini merupakan upaya-upaya licik menjauhkan bahkan mengamnesiakan masyarakat terhadap sejarah. Ingatan kita seakan ditekan, lalu dijauhkan dari fakta yang sebenarnya. Pelekatan nama angker dan stigma buruk zaman orde baru itu, bagai hal lumrah yang mesti diterima.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Pada era-era ketika Republik ini masih bayi, kendati bangsa ini telah meraih citanya-citanya; mencapai kemerdekaan yang diimpi-impikan sudah sejak lama. Sesungguhnya Indonesia belumlah lepas betul dari cengkeraman kuku ideologi imporan penjajah. Terbukti di era itu, virus imperialisme, kolonialisme serta feodalisme tak lelah-lelah menggerogoti dan menginfeksi Republik baru, Indonesia. Ruh ideologi imporan itu terus berkamuflase, seakan dengan model yang pada dasarnya sama ia mencipta dalam berbagai versi baru yang berbeda. Saat itu, secara hukum internasional, Indonesia telah merdeka, namun kuku kolonialisme, imperialisme serta feodalisme masih keberatan melepas seluruh cengkeramannya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Saat ambruknya demokrasi parlementer, tak seorangpun tahu seperti apa bentuk pemerintahan yang akan datang. Sampai diambillah sebuah kebijakan baru oleh presiden Soekarno. Era itu diberi nama era ”Demokrasi Terpimpin” (1957-1965). Bentuk pemerintahan ini diambil tersebab terus berlanjutnya masa-masa krisis berkebangsaan. Dalam sejarah tercatat, era ini sebagai era paling kacau pasca revolusi 1945. Proses revolusi tertahan oleh prahara-prahara dan sengketa politik di dalam negeri.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Di era itu, garis politik negara mengkredokan Manifesto Politik (Manipol). Dalam berbagai ranah segalanya mesti ditujukan untuk mengabdi pada revolusi yang belum selesai. Tak terkecuali dalam lapangan berkebudayaan, sikap berkebudayaan dan berkesenian harus diarahkan pada arus untuk mengabdi pada masyarakat: “Seni untuk rakyat” dan “Politik sebagai panglima”. Pada era-era berat inilah panggung kebudayaan dikuasai oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat). Karena itu, lembaga kebudayaan ini tercatat sebagai yang paling responsif terhadap bahaya laten musuh-musuh revolusi.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Dengan ikhtiar memayungi setiap laku kebudayaan bangsanya pada mazhab realisme sosial, para sastrawan Lekra ini dalam laku kesenian menganjurkan kembali ke basis, dalam artian, kembali ke jalur tradisi revolusioner; “Mendobrak pendjadjahan dari segala segi jang mungkin”. Sebuah garis revolusi kebudayaan yang ditarik dan dirumuskan dari seorang sastrawan revolusioner klasik Nusantara, Abdullah bin Abdulkadir Munsji (1796-1854). Dengan tetap menjunjung tinggi kredo kebudayaan bukan semata konsumsi kaum suka hibur, demi pemenuhan nafsu kesenangan yang tanpa batas, tetapi harus diabdikan sepenuhnya untuk rakyat dan tujuan revolusi yang masih bayi. Harapan berkesenian mereka adalah seni tidak sekadar tempat menuangkan keindahan, namun seni dan sastra harus dapat mengabdi. Menjadi sarana, bahkan alat politik untuk mengurai ketimpangan sosial.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Karena tugas dan misi yang diemban pekerja budaya seperti ini diklaim menyimpang dari watak sastra dan pakem berkebudayaan. Terjadilah geger budaya di era itu. Misi dan sikap berkebudayaan seperti itu banyak menuai penentangan-penentangan keras kubu Manifestan. Yakni kelompok yang berseberangan dengan watak ideologi Lekra. Inilah yang terjadi di panggung budaya era 60-an. Para seniman-sastrawan yang tak sekata dengan ideologi anutan Lekra ini berpolemik panjang hingga berlarut-larut.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Namun saat tumbangnya Orde Lama dan tampilnya Orde Baru, Lekra dianggap sebagai tukang bikin kisruh, tukang ganyang buku dan pembuat onar. Lekra memang dilahirkan dari rahim para manusia yang mayoritas adalah orang-orang dengan ideologi kiri; Sosialis-Komunis. Kendati begitu, dalam penelusuran buku ini, Lekra bukanlah underbow dari partai yang pada zamannya Soeharto dicap terlarang itu. Lekra secara geneologi faham berkebudayaan bertali-temali dengan mazhab realisme sosialis ala Maxim Gorky, sedang dalam keterkaitan ideologi berkiblat pada Marxis-Leninis. Tak dimungkiri pula bila lembaga ini dalam garis perjuangannya memang searah dengan garis politik PKI. Pun sebagian besar pekerja budayanya juga adalah organ-organ komunis. Namun betulkah waktu itu mereka mengebiri kebebasan mencipta kubu manifes? Bagaimana sebenarnya? Jawabannya akan kita temukan dalam esai panjang ini.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Buku ini tersusun melalui jejak rekam sumber tunggal, rubrik budaya koran Harian Rakjat yang hidup sepanjang tahun 1950-1965. Dan dapat terwujud berkat kerja kreatif dan telaten tak kenal lelah, dua orang penulis muda yang juga kerani di Indonesia Buku (I: BOEKOE). Penulis memanfaatkan secara intensif lembar-lembar kebudayaan Harian Rakjat yang tertimbun sekitar 30-an tahun, dari ruang terlarang sebuah perpustakaan di Jogjakarta. Namun tidak mudah, untuk meriset koran terlarang itu mereka harus minta izin secara persuasif pada para penjaga pustaka, lantas menyeleksi 15 ribuan artikel budaya dengan cepat, sebab katanya mereka harus balapan dengan rayap rakus kelaparan, yang juga berminat menyantap koran-koran usang bersejarah itu. Dan dengan memakan waktu sekitar 1,5 tahun, siang malam, akhirnya dapat mereka rampungkan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Barangkali inilah sebuah buku hasil riset pertama tentang sebuah lembaga kebudayaan (Lekra) terlengkap, yang merekam hiruk pikuk laku kebudayaan era Demokrasi Terpimpin. Buku ini seolah menjadi antitesis bagi tuduhan-tuduhan yang sudah kadung melekat ke Lekra. Misalnya, dalam buku Prahara Budaya (1995) yang dieditori Taufik Ismail & DS Moeljanto, Lekra kena tuduh terlibat perilaku vandalisme membakari buku-buku berbau USIS (sebuah kantor informasi milik Amerika) dan penyebab dilarangnya buku-buku karya sastrawan Manifes. Buku ini hendak menjawab kritik pedas itu. Namun untuk mendapatkan suatu informasi yang tak sepihak, dan agar dapat mendalami kekisruhan itu secara proporsional, kiranya layak pula kita baca lagi buku-buku yang juga merekam perpolitikan di era yang kata Syafi’i Ma’arif sarat gesekan itu. Misalnya seperti, Kesusastraan dan Kekuasaan-nya Goenawan Mohamad (1993), beberapa buku & esai HB Jassin serta Muchtar Lubis, dan terutama informasi dari buku Social Commitment in Literature and the Arts: the Indonesian ”Institute of People’s Culture” 1950-1965 (1986) karya Keith Foulcher.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Buku ini sangat layak diapresiasi. Namun karena penulisnya keburu bangkrut secara ekonomi (tanpa bekingan dana), --seperti yang telah mereka akui di milis-milis. Sedang buku ini belum sempat beroleh seorang penyunting. Tak heran bila di sana sini nantinya, akan kita temukan beberapa kesalahan juga kejanggalan redaksional yang (serba mungkin juga) dapat mempengaruhi substansi sejarah yang dimuatnya. Sedikit kekurangannya lagi, seperti huruf yang terlalu kecil, pemakaian kertas yang berkualitas rendah di mata, sungguh sangat disayangkan untuk ukuran buku yang mendokumentasikan sejarah Lekra. Kendati begitu, semua kesalahan tadi kiranya tetap tak dapat mengurangi besarnya informasi sejarah serta komplitnya ulasan dalam buku ini.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, pegiat buku, tinggal di Malang</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-18321905820600256702009-04-07T07:54:00.000-07:002012-12-13T10:38:03.818-08:00Mengais Realitas dalam Novel Sejarah<div style="text-align: left;">
Dewasa ini, begitu banyak novel bertemakan sejarah. Novel-novel tersebut tidak sulit kita dapatkan di deretan rak toko buku. Antara lain, novel serial <i>Gajah Mada</i> oleh Langit Kresna Hariadi (LKH), lima jilid yang tebalnya lumayan menguras pikiran. Lalu sebuah novel tentang sejarah kehidupan kongsi dagang zaman Hindia Belanda, VOC, berjudul <i>Rahasia Meede; Misteri Harta Karun VOC</i>, yang ditulis E.S. Ito. Tak ketinggalan novel <i>Diponegoro</i>-nya Remy Sylado, salah satu pengarang yang dikenal setia menekuni genre sejarah, yang sebelumnya sukses dengan duo novel berlatar belakang sejarah, <i>Ca Bau Kan</i> dan <i>Parisj van Java</i>.</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Ramainya pasar novel sejarah tersebut, kita harapkan juga meramaikan wacana perbukuan di dalam negeri, khususnya dunia kesusastraan yang masih mengalami kelesuan kritik. Meskipun kenyataannya, novel bergenre sejarah bukan lagi barang baru dalam sejarah novel Indonesia. Kembalinya novel berlatar belakang sejarah ini, tak ayal akan memancing persoalan lama, tentang keafdolan sejarah yang menempel pada sastra: mungkinkah sastra sejarah menjadi rujukan sejarah?</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Pada mulanya sastra memang terkait erat dengan masalah kreativitas dan intens dengan wilayah imajiner. Akan tetapi, pada era belakangan, dengan hadirnya metode-metode baru dalam menelaah karya sastra, ternyata dokumen (karya) sastra dapat dijadikan sumber sejarah (buku teks sejarah). Sebagaimana kata Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, kurang tepat bila mengatakan sastra tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Dengan alasan, zaman sekarang sebagian orang tidak lagi memandang sastra sebagai kajian estetika secara otonom. Novel genre ini telah menakdirkan sejarah sebagai objeknya, bahkan telah memasrahkan diri untuk berenang pada serakan-serakan sejarah yang sering disembunyikan oleh rentang waktu. Peran baru karya sastra ini masih dipertentangkan, karena walaupun bisa dijadikan sumber sejarah, pada sisi lain karya sastra tetap tidak lepas dari substansinya yang imajinatif sekaligus fiktif.</div>
<div style="text-align: left;">
Menurut Kuntowijoyo, begawan ilmu sejarah yang juga seorang maestro kesusastraan (Pengantar Ilmu Sejarah, 1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran di tangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subjektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya. Masih menyoal perbedaannya, menurut Kuntowijoyo, bahasa sejarah adalah bahasa yang sederhana dan langsung, persis seperti dalam bahasa sastra modern. Tidak ada bahasa yang berbunga-bunga. Tidak ada "rambutnya bak mayang mengurai", juga tidak "hutan itu selebat jenggot orang Arab" dan seterusnya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Bahasa sejarah adalah bahasa sehari-hari. Kalau sejarah melukiskan para gerilyawan minum air, sejarah tidak akan bilang bahwa mereka minum H2O. Dalam pengantar buku <i>Telaah Sastra</i> (2002), Zainuddin Fananie berpendapat, dengan keluarnya sastra dari kreativitas imajiner ke wilayah sejarah, maka sastra secara tidak langsung bisa diletakkan sebagai dokumen sejarah atau dokumen sosial yang kaya dengan visi dan tata nilai suatu masyarakat. Dengan begitu, kajian sastra tidak hanya mengulas persoalan sastra saja, melainkan dapat dikembangkan pada telaah-telaah lain yang bersifat multi dan interdisipliner. Penelitian yang memasuki kawasan ini harus punya cukup bekal. Di samping menguasai teori dan metode, peneliti juga harus mumpuni pada bidang yang lain, semisal psikologi, politik, sosiologi, dan sejarah itu sendiri.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Bicara sastra di satu sisi dan sejarah pada sisi lain, mengingatkan kita pada kasus sastra realis, terutama realisme-sosial yang diusung Pramoedya Ananta Toer. Para kritikus sastra pada taraf mula Indonesia, seperti H.B. Jassin, Arief Budiman, Goenawan Mohamad dkk, menyuarakan genre realisme-sosial yang mewarnai karya-karya Pram sebagai karya yang tidak memenuhi ketentuan seni dan sastra. Ini, karena realisme sosial yang tanpa <i>tedeng aling-aling</i> memotret objek, seperti adanya. Kejujuran penulis realisme untuk menggambarkan setiap detail objek tanpa melibatkan perasaan, pikiran, atau keinginannya ke dalam objek yang digambarkan, membuat sastra realisme kena tuduh kehilangan watak khas sastra yang selalu dikelilingi oleh selubung keindahan. Pram bersikeras bahwa keindahan sastra itu bukan dalam mengutak-atik bahasa, tetapi terletak pada kemanusiaan. Artinya perjuangan untuk pengabdian pada kemanusiaan. Bahkan semakin dekatnya sastra realisme sosial dengan realitas, berbuntut polemik panjang di eranya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Terlepas dari kasus realisme, harus diakui, sastra memang tak pernah jauh berkutat dengan fiksi. Tetapi kita juga tidak bisa menampik, apa yang diolah dan dihasilkan sastra merupakan bentuk peniruan terhadap realita (berangkat dari kenyataan sehari-hari). Dalam hal inilah sastra dikatakan sebagai memesis alam nyata. Seorang pengarang mengolah karya sastra dari apa yang dialami dan dilihatnya. Plato dalam bukunya <i>Republik</i>, yang membicarakan dunia ide, berpendapat, bahwa karya sastra tidak akan sama dengan dunia ide, karena sifatnya meniru. Tiruan sendiri sejatinya tidak akan pernah sama dengan apa yang ditiru (dunia realita). Dalam hal ini Plato membagi realita menjadi tiga tingkatan. Yakni dunia ide, lalu apa yang kita jalani ini (kehidupan sehari-hari), dan tingkatan tiruan (memesis), yang diolah apik oleh ranah kesusastraan. Tingkatan kedua dan ketiga tidak pernah ideal. Karena kebenaran tertinggi menurut Plato hanya ada pada yang ideal (dunia ide).</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Karya sastra di satu sisi dibangun atas dasar fakta-fakta yang berkelebat dalam diri pengarang, dan menampilkannya ke permukaan sebagai sebuah fiksi. Pada sisi lain sejarah terkadang menyembunyikan kebenarannya. Dan anehnya banyak yang hanya berani menampilkannya lewat dunia fiksi. Hakikat sejarah pada umumnya adalah kenyataan, tetapi justru kenyataan itulah kadang yang sering dimanipulasi hingga menimbulkan berbagai versi dan terlihat kontroversi. Akhirnya, sejarah akan tergiring dalam ranah subjektif sebagai sebuah kenyataan objektif.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Dalam sastra, teks dan maknanya menjadi otoritas pengarang sepenuhnya. Berbeda dengan sejarah, data-data yang ditampilkan tidak dalam wilayah otoritas pengarang. Data-data sejarah bermula dari pertanyan-pertanyaan yang diajukan sejarawan. Walaupun sejarah berkutat dengan fakta, sejarah tak dapat mengelak dari tuntutan dan kebutuhannya akan corak/pencitraan sastra. Dalam hal ini Kuntowijoyo menyebut sejarah sebagai seni.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Sejarah pernah dianggap sebagai cabang sastra pada zaman romantik. Yakni pada akhir abad 18 dan permulaan abad 19. Penulisannya pun disesuaikan dengan menulis sastra, harus melibatkan emosi. Penulis sejarah dituntut pandai membuat pembaca sejarah seolah hadir dan merasakan sendiri berbagai peristiwa yang ia baca. Sejarah juga memerlukan imajinasi. Sejarawan yang meneliti sejarah harus dapat membayangkan apa sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi setelah itu. Ketika sejarawan ingin mempelajari sebuah perlawanan gerilya di hutan, misalnya, ia harus mampu mengimajinasikan tentang hutan, sungai, malam hari, dan seterusnya.</div>
<div style="text-align: left;">
Dalam sejarah, tugas utama sejarawan bukanlah menghafal fakta-fakta di luar kepala saja, akan tetapi yang lebih utama adalah merekonstruksi fakta-fakta sejarah. Untuk itulah akurasi (ketepatan) dan objektivitas adalah dua hal yang harus dipenuhi dalam penulisan sejarah. Cara pengungkapan sejarah yang terbilang apresiatif melalui data-data empiris dan tulisan (narasi) tak berbeda jauh dari pengungkapan karya sastra. Cuma yang dikhawatirkan jika sejarah terlalu dekat dengan seni maka sejarah akan kehilangan keakuratan dan keobjektivitasannya. Menampilkan fakta sejarah dalam kemasan fiksi bukanlah untuk menunjukkan bahwa sejarah yang selama ini kita pahami adalah palsu. Hal tersebut dimunculkan dengan tujuan menawarkan berbagai kemungkinan. Yang dengan itu pula dapat mengganggu kemapanan fakta sejarah yang selama ini ada dan mapan dalam pikiran kita. Dunia yang tertutup oleh akurasi data diobrak-abrik oleh warta kemungkinan-kemungkinan. Layaknya kerja dekonstruksi yang mencurigai adanya berbagai kemungkinan di balik bercokolnya teks otoritatif, dengan menawarkan pembacan ganda terhadap kemapanan logosentrisme.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Terlepas dari polemik di atas, yang bisa menjadi catatan, kita tetap percaya ada kejernihan di balik terjadinya polemik. Ketika karya sastra dapat dijadikan sebagai rujukan sejarah, dengan begitu maka sastra telah membuktikan dirinya sebagai ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula berfungsi sebagai dokumen sejarah. Dari sini, ilmu sastra akhirnya dapat menembus kungkungan kodratnya sebagai ilmu yang mengikat. Di samping sastra sendiri memang tidak pernah lepas dari masalah kemanusiaan yang diolahnya (sastra menjadi satu-satunya kajian yang elegan dalam mengungkap sisi lain diri manusia). Begitu pula kita harus mengusahakan membaca buku sejarah layaknya membaca novel, mengalir dan mudah untuk mencerna. Hal tersebut bisa terwujud dengan menciptakan alur dalam sejarah layaknya yang ada dalam novel, yaitu dengan membaginya dalam tiga tahap: pengenalan, krisis dan solusi. Maka, tak pelak novel sejarah sangat mungkin menjadi salah satu jalan untuk mendalami sejarah. Karena penceritaan dengan latar belakang sejarah, sejauh ini dapat membuat pembaca seakan-akan hidup di zaman sejarah tersebut. Bahkan novel yang dibawakan akan lebih nyaring bila penulisnya adalah pelaku ataupun saksi sejarah itu sendiri.</div>
<div style="text-align: left;">
Konon, novel-novel Pram sangat kental dengan nuansa perjuangan (sejarah), bahkan dengan sangat baik dan berhasil menghipnotis pembacanya, terutama dari kalangan kaum muda (baca: mahasiswa), dikarenakan ia sendiri adalah pelaku sekaligus saksi sejarah yang ia tulis. Mungkin seribu penulis novel sejarah sekarang tak ada yang bisa menandingi cara bertutur Pram.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Terakhir, saat ini ternyata banyak sekali sejarah yang belum ditulis. Salah satu penyebabnya mungkin kentalnya budaya lisan masyarakat. Jika sejarah adalah kenyataan itu sendiri, maka perjalanan hidup kita hari ini dan juga negeri ini harus bisa sampai pada anak cucu kita kelak, meskipun melalui novel. Sejarah seringkali diingkari bahkan dilupakan oleh bangsa ini. Sebab minimnya greget membaca atau dengan alasan yang lain. Sejarah juga amat sering direkayasa, dibelokkan dari relnya demi kepentingan politik semata. Dengan hadirnya novel-novel bermuatan sejarah, kita baru tersadar, betapa sejarah sangat penting untuk menakar arus balik atau maju mundur kehidupan ini.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
*) Misbahus Surur, penggiat dunia sastra, tinggal di Malang</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
(Pernah dipublikasikan harian <i>Jawa Pos</i> pada 30 Maret 2008, dan sempat ditanggapi Zen Rachmat Sugito pada 18 Mei 2008, dengan tajuk <i>Mistifikasi Novel Sejarah</i>, di harian yang sama)</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-62492720177554105862009-04-07T07:08:00.000-07:002012-12-13T10:38:36.220-08:00Gerakan “Kama Sutra” Buku<div style="text-align: left;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBu0gfjOn8X_RQGlOOjC54mk2Dzfc-Vd-C48ovcI3oO3gTL2yrh0SPq12kc4jFSNkin648j0rSu0OOpPv8oPvSYOojsKPmzq6ynXsO0Ok2SYjBIl_lY4iyBSGcUIcwkWP-jVYizA62Pfk/s1600-h/Buku.JPG" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5321962398157057170" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBu0gfjOn8X_RQGlOOjC54mk2Dzfc-Vd-C48ovcI3oO3gTL2yrh0SPq12kc4jFSNkin648j0rSu0OOpPv8oPvSYOojsKPmzq6ynXsO0Ok2SYjBIl_lY4iyBSGcUIcwkWP-jVYizA62Pfk/s320/Buku.JPG" /></a></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Kapan kegiatan membaca dianggap sebagai suatu pekerjaan yang bergengsi, yang bukan sekadar untuk mengisi waktu luang saja. Dan orang yang tidak doyan membaca dianggap sebagai orang yang tidak gaul. Mungkin hal tersebut tidak akan jauh dari angan bila kebiasaan membaca, minimal menjadi ikon bangsa yang punya kehendak untuk maju ini. Realitanya, belum banyak orang yang sadar diri untuk segera mengintimi buku. Gairah membaca belum membudaya apalagi menjadi menu sehari-hari kita. Ah, betapa menyenangkannya andai prototipe sebagai bangsa literal melekat pada jati diri bangsa ini.</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Kita boleh berbangga, para penulis kita tidak sedikit yang mendapat pengakuan dunia. Nama-nama seperti Ir. Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Gus Dur, Cak Nun, Pramudya merupakan sedikit diantara sosok penulis yang tidak hanya tenar di dalam negeri, tetapi pemikiran mereka telah menjadi produk Indonesia yang jauh lebih banyak dikonsumsi masyarakat luar negeri tinimbang oleh bangsa sendiri. Ir. Soekarno misalnya, adalah seorang tokoh yang pernah menjadi idola di kepala presiden Lybia, Khadafi. Buku-buku Pram misalnya lagi, sejak beberapa tahun lalu telah menjadi konsumsi bahkan bacaan wajib masyarakat luar negeri seperi Malaysia, Jerman, Perancis dan sebagainya. Hal itu tak sebanding dengan apresiasi beberapa bukunya di dalam negeri, yang berulang kali mengalami pembredelan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Patutkah bila kita tenggelam dalam kesenangan dan romantisme semu atas apa yang telah dicapai pendahulu kita itu. Kita seharusnya tak melupakan ketajaman berfikir dan kepiawaian mereka. Kita tidak boleh lumpuh dan bebal untuk meniru gaya hidup mereka yang tiap jamnya berkawan dengan buku dan bercanda tawa dengan tulisan. Karena kita masih belum terlambat untuk menapaki jejak mereka.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Untuk memompa gairah dan semangat membaca, sepertinya kita layak menengok teori Barthesian mengenai teks (bacaan) dan bagaimana membaca. Teks yang selama ini sering diasumsikan sebagai tulisan/ barang yang telah jadi, ternyata tidak dikonstruk demikian dalam pandangan Barthes. Kalau melihat arti kata teks, texere, yang dalam bahasa Yunani diartikan sebagai sebuah rajutan, dimana fenomena teks ternyata dianggap sebagai barang setengah jadi. Walaupun dalam pandangan kita hal tersebut telah selesai dikerjakan; dalam arti, telah selesai penulisannya.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Dalam buku, The Pleasure of The Text, Barthes mengatakan, bahwa tulisan yang kamu tulis harus membuktikan bahwa teks tersebut memancarkan gairah atas saya (ST. Sunardi, 2004). Maksudnya adalah semangat untuk mengintimi (membaca) teks. Dalam hal ini, ada beberapa langkah yang dilakukan Barthes. Pertama, Barthes mendekati teks sebagai sebuah desire, kedua, ia membedakan antara bacaan dan tulisan, dan ia menganggap bahwa tulisan adalah kamasutranya bahasa. Dimana teks yang menggairahkan pembaca tersebut, ia sebut sebagai tulisan.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Mengapa kita tidak mencoba membangun sebuah hubungan yang intim dengan teks (bacaan). Mengapa hal ini sempat terlupakan. Padahal, sebuah keintiman tidak harus selalu dibangun atas materi yang bernyawa, tetapi juga dengan yang tak bernyawa (buku). Dalam teori kamasutra bahasa, Barthes membicarakan bagaimana kenikmatan membaca dan mengintimi sebuah teks.</div>
<div style="text-align: left;">
Dalam berbagai ranah kenikmatan adalah puncak segala aktivitas. Begitu pula dalam teori teks, kenikmatan secara epistemologis menduduki tempat sentral. Sebuah kenikmatan di samping kadang bertentangan dengan produksi pengetahuan pada zaman klasik, juga menjadi jalan utama menuju pengetahuan pada zaman modern.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Teks merupakan sebuah jalan untuk mengalami desire. Kegiatan menulis (E’criture) merupakan jalan memproduksi teks. E’criture menjadi titik temu antara pembaca dan teks. Di sinilah kenikmatan cita rasa teks benar-benar dapat dirasakan pembaca. Karena hubungan dialektis antara pembaca dan teks ditempatkan dalam hubungan desire (saling mengingini dan saling menggairahkan). Bukan berarti menancapkan nuansa desire pada teks, dikarenakan teks tersebut berbicara tentang desire dengan kapasitasnya yang bernuansa cabul, melainkan bagaimana keberadaan suatu teks hanya bisa dirumuskan dalam kategori kenikmatan (desire) semata.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Setiap pembaca pasti pernah merasakan bagaimana kenikmatan sensasi membaca. Bagi yang punya peran besar dalam kegiatan membaca, tak jarang kita mendengar kata-kata seperti, ”Saya tidak faham dengan karya ini” atau ”Karya ini begitu berat” ataupun ”Karya ini sangat menguras pikiran saya”.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Membaca sebenarnya adalah sebuah usaha untuk menemukan makna (the meaning). Dengan begitu kegiatan membaca terasa kurang bermakna bila tak dapat menemukan makna. Walau begitu, kita harus tetap membaca, karena makna pun kadang tidak langsung kita temukan seketika itu juga. Sebab, ketika membaca, kita kurang punya sense of curiosity, yaitu sifat keingintahuan yang mendalam. Untuk itu, sense of curiosity seharusnya selalu dibangun tiap kali kita melakukan kegiatan membaca. Walhasil, kegiatan membaca akan selalu terasa menyenangkan & tak pernah mengalami rasa puas.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Jika konsep teks masih merupakan sebuah rajutan yang belum selesai, maka kegiatan membaca yang kita lakukan bukan lagi sekadar membaca dalam arti mengonsumsi teks. Tetapi juga memproduksi teks baru dari sumber bacaan yang telah lewat. Jadi, beberapa ungkapan ”absurd” di atas, hanyalah alasan bagi orang yang tidak dapat menemukan makna pada sebuah opus (karya) di hadapannya. Karena ketika kita telah dapat menemukan makna, sebenarnya baru terasa bila desire itu benar-benar ada. Sebuah buku pun akhirnya mendadak bisa menjadi kamasutra.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Kita juga harus selalu percaya bahwa tulisan yang kita baca tidak hanya menyimpan rentetan kata-kata kosong belaka. Lebih dari sekadar itu, ia memberikan sebuah kenikmatan jiwa, membangun keindahan hidup dan yang pasti selalu memberikan porsi yang bergizi untuk kecerdasan otak kita.</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Oleh: Misbahus Surur, Pustakawan tinggal di Malang</div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
(pernah dipublikasikan harian Jawa Pos, pada 6 Januari 2008)</div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-31453557834545427982009-03-12T19:34:00.000-07:002012-12-13T10:39:19.434-08:00Subversivitas Sastra Indonesia Modern<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;"></span><br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Betapa kelam yang mengendap dalam labirin peristiwa, kerap melahirkan momentum yang senantiasa ingin dikenang oleh generasi masa kini. Kendati, untuk sungguh-sungguh mencecap pesan sebuah zaman atas sajian ciptaannya, tidaklah mudah. Paling tidak, kita harus rela menghanyutkan diri pada dalamnya senarai ragam peristiwa yang diguratkan oleh sebuah takdir. Tentu juga atas segala hal yang menggumpal dalam pernik tragedi. Membaca dan menapaktilasi sejarah sastra Indonesia di awal pertumbuhannya (dengan embel-embel modern) adalah membaui haru-biru aroma itu. Mereka (para seniman-sastrawan tempo dulu), bagi kita setidaknya, bukan menggores percik hampa atau sebatas merajut frase luka. Tapi juga menelorkan sebuah formula.</span></div>
<a name='more'></a><div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Dus, saatnya kita mengurai fragmen-fragmen yang terendap dalam periskop sejarah, meskipun melalui kolofon momen historis. Tentu bukan saja berniat menyaring debu timpangnya, melainkan juga untuk mengelaborasi zaman; menyembulkan seribu kejernihan yang menyembunyi. Bertolak dari keadaan itu, menurut Gandhi misalnya, berkaca pada pengalaman India yang koloni Inggris, pada awalnya melalui teks kaum kolonialis mengontrol bangsa, lalu menghegemoni negara. Namun melalui teks pula masyarakat negeri ini berekspresi dan menemukan ruang reaksi yang paling tajam. Mereka menelanjangi selubung kepentingan kapitalisme beserta ideologinya dengan senjata teks, meskipun persenjataan fisik (alutsista) juga punya peran penting.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Dalam perjalanannya yang cukup panjang, sastra Indonesia telah menampilkan ihwalnya masing-masing. Beragam misi diemban kumpulan manusia penatah kata itu. Ada yang murni menghamba kebenaran, namun tak sedikit pula (?) yang hanya mengabdi ketentraman pseudo. Dalam sejarahnya, kita lalu mengenal tradisi sastra Balai Pustaka (BP), yang bahkan tradisi ini dijadikan pijakan lahirnya sastra Indonesia modern. Meskipun di masa yang bersamaan, hidup pula beratus tradisi yang entah itu dengan sebutan apa. Mungkin karena seringnya absen diperbincangkan dalam konstelasi sejarah sastra, yang membuatnya lenyap --dan masalah sebutan, kala itu memang tak terlalu dipentingsoalkan. Tradisi ini banyak digeluti para seniman-sastrawan, terutama penulis partikelir di Nusantara. Mereka inilah yang pada zaman kolonial sering kena cemooh rezim penguasa dengan buah karya ''bacaan liar'' dan stigma sastra genre ''roman picisan''. Para sastrawan dan peneliti sekarang lebih familiar dengan menyebutnya sebagai tradisi sastra non-Balai Pustaka (non-BP).</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Bila kita mengenal akrab novel-novel yang kala itu menjadi ikon penerbit BP, semisal Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939) karya HAMKA, Tak Putus Dirundung Malang (1929) dan Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Nur Sutan Iskandar dan masih banyak lagi, seharusnya kita juga perlu mengakrabi berbagai wajah novel sezamannya. Karena sebelum tradisi BP digulirkan, tradisi di luar itu juga berkembang.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Sejarah telah mencatat --kendati pasang surut-- munculnya ratusan penulis dan penerbit partikelir (mungkin juga ribuan) dari kalangan pribumi. Karya-karya mereka masih menggunakan bahasa Melayu rendahan/pasaran. Dan inilah satu pembeda yang mencolok dari verbalisasi sastra ala BP (novel-novel tradisi BP menggunakan bahasa Melayu tinggi/standar). Tulisan mereka hadir seakan menelusup dan mengurai sendiri apa yang disembunyikan rezim yang menunggang sejarah (borok kolonialis). Tak ayal, kala itu, tiap papan yang tergores oleh karya mereka, kerap menebarkan ritme resistensi. Mungkin nama negatif yang lekat selama ini, karena watak subversifnya. Pengarangnya kebanyakan orang-orang kiri, karena gerak yang dengan terang-terangan mengikhtiarkan perlawanan atas hegemoni pusat (kuasa kolonial). Hingga pemerintah Belanda mengecapnya sebagai ''bacaan liar''. Riwayat pengarangnya seperti H. Moekti dengan Hikajat Siti Mariah (1910); Tirto Adhi Soerjo dengan Boesono (1910) dan Nyai Permana (1912); Mas Marco Kartodikromo dengan Studen Hidjo (1918), Sjair Rempah-rempah (1919), Mata Gelap (1919) dan Rasa Merdika (1924); Semaoen dengan Hikajat Kadiroen (1920) dan ratusan riwayat pengarang yang lain.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Membiaknya bacaan liar ini disikapi pemerintah kolonial dengan phobia yang sedemikian rupa. Serasa kekuatan subversif inlander (dalam karya sastra) mampu mengguncang keangkuhan penghuni negeri rendah itu. Kolonialis masih menyimpan kepercayaan tinggi akan kedahsyatan ekses kata-kata yang (mungkin) tertuang, terselip atau sengaja dijepitkan penulis yang rata-rata kiri itu. Pendek kata, kekuatan artikulasi sekelompok inteligen (baca: intelektual) itu diyakini Belanda sebagai anasir perlawanan. Karena itulah, dengan semena-mena dan tindakan represif, kolonialis berusaha menyumbat suplai bacaan untuk rakyat; dengan membredel, menyegel puluhan mungkin juga ratusan penerbit swasta, bahkan memenjarakan si pengarang. Akan tetapi, sebagai inteligen, yang telah sengaja berniat menggariskan diri pada fungsinya: penyuara nurani rakyat, para pengarang itu tak pernah gentar melawan. Dan nasionalismelah, sejatinya umpan pembiakan ''roman picisan'' di era kolonial itu. Rasa nasionalisme bumi putra yang tinggi menjadi sebab (men)dasar meletupnya produksi sastra ini.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Meskipun dikecam sebagai bacaan liar, kata subversif tentu tak selamanya bernada melawan secara negatif. Bahkan kalau ditelisik ke masa lalu, gerakan subversif sastra justru bermuatan sebaliknya (wujud riil heroisme yang tinggi). Maka, tak aneh bila karya sastra yang dilahirkan pengarang-pengarang pribumi itu dulunya merupakan karya sastra yang paling diburu masyarakat. Baik penikmat sastra murni maupun bukan.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Tradisi BP yang nota bene sebagai penerbit tunggal (baca: resmi) bagi pemerintah jajahan, tidak banyak diminati. Karena tradisi sastra BP diopinikan sebagai anak kandung kolonialis. Dengan begitu, tentu dianggap berafiliasi ke pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun di lain tempat, tradisi sastra di luar itu --sastra oposan, roman picisan (non-BP)-- dianggap pemerintah sebagai anak jadah yang kelahirannya sangat tidak diharapkan. Dan, termasuk dalam tradisi ini adalah karya sastra yang produsennya orang-orang peranakan Eropa/indo (keturunan dari hasil perkawinan pribumi dan Eropa), dan peranakan Tionghoa.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Tradisi sastra peranakan Eropa yang pengarangnya menaruh hati pada penderitaan inlander itu semisal Max Havelaar oleh Multatuli --nama samaran Eduard Douwess Dekker, yang jamak kita ketahui punya kecenderungan menentang praktik kolonialis dan superioritas warga Eropa di tanah Hindia. Iwan Simatupang pada satu kesempatan pernah menyebut mereka ini sebagai ''Paradoks dari Kolonialisme''. Karena sang kolonial sendirilah yang pada hakikatnya menanamkan benih-benih pembangkangan terhadap kolonialisme. Contoh lain adalah Rubber (1931) karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs. Novel ini cukup banyak peminatnya dari kalangan pribumi. Bahkan oleh pemerintah Hindia, pengarangnya dianggap pengkhianat, seperti halnya Max Havelaar yang reaksioner. Sampai-sampai M.H. Szekely-Lulofs dijuluki ''Multatuli Perempuan''. Kemudian, Drama Di Boven Digoel karya Hoay (peranakan Tionghoa), di mana Rieger (1989) menganggapnya sebagai karya monumental yang hanya dapat disejajarkan dengan roman-roman ''Pulau Buru''-nya Pramoedya Ananta Toer.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Lantas apakah benar seperti yang diyakini para pengamat sastra saat ini, terutama para pemerhati sastra poskolonial, bahwa pendirian sebuah kantor dan penerbitan kala itu yang bernama Kantoor Voor de Volkslectuur/Kantor Bacaan Rakyat (1917) yang merupakan pergantian dari Commisie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur (1908), hanya sebuah usaha tandingan mematikan kreativitas bumi putra dengan karya picisannya yang reaksioner? Juga hanya sebatas jalan melapangkan politik etis (balas budi) picik Belanda; dalam hal ini misi edukasi yang merupakan salah satu peranti bagi pembenahan tragedi kemanusiaan Cultuur Stelsel (tanam paksa).</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Apalagi, juga tercium desas-desus, berdirinya BP pada mulanya sengaja diniatkan untuk menyumbat aliran bacaan liar yang kian deras, yang membuat gerah pemerintahan Belanda. Indikasi dari adanya dugaan tersebut, bisa dilihat dari karya-karya terbitan BP pra-kemerdekaan yang menokohkan bangsa penjajah sebagai protagonis; begitu pula mengelu-elukan tokoh-tokoh inlander yang mendukung bangsa penjajah. Aura ini bisa kita rasakan pada novel Siti Nurbaya (1922), Salah Asuhan (1928), dan semacamnya. Kendati karya-karya BP tidak jamak berwatak demikian. Dalam artian, tidak semua karya BP mendukung status quo penjajah. Sebaliknya, karya-karya yang diterbitkan para penerbit partikelir (swasta) menampilkan sosok bumi putra sebagai tokoh-tokoh antagonis yang terstigma jahat, licik, penjilat, dan picik.</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dalam suatu pernyataanya --setelah sekian tahun bekerja di kantor yang nota bene milik pemerintah kolonial itu-- mengamini hal ini. Sebelum kemerdekaan, ketika BP masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial, novel-novel yang diterbitkan BP jarang, bahkan tidak banyak, yang mengulas tentang politik. Kalau ada masalah politik, itu hanya diceritakan dalam dua novel saja, yaitu Cinta Tanah Air-nya Nur Sutan Iskandar (1944) dan Palawija-nya Karim Halim (1944).</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Akan tetapi analisis kontemporer menyebutkan, novel-novel yang seakan memprotagoniskan penjajah itu ternyata juga berwatak subversif. Cuma sayang, kata-kata subversif yang tersirat dalam novel tak terbaca masyarakat, atau tak terendus. Berbeda dengan tradisi sastra non-BP yang kontras menghadapi tirani. Dengan pencipta yang rata-rata golongan kiri, dengan bahasa yang berapi-api (tersurat); menghasut untuk memberontak dan reaksioner. Novel-novel seperti ini bukan pula novel yang diklaim masuk jajaran anakronis (menyalahi zaman). Mungkin karena mewarisi karakter yang sebenarnya dari jati diri bangsa saat itu (rindu kebebasan dan lelah dieksploitasi). Sastra non-BP tak jarang juga lebih bisa menampilkan hal-hal yang menarik, dekat dengan kehidupan sehari-hari dan tema-tema yang diangkat pun dapat mewakili realitas yang ada (mengambil peristiwa-peristiwa nyata yang populer), meskipun kurang mempertimbangkan dampak moral maupun politisnya. Toh, kendati tetap disebut bacaan liar atau roman picisan (panglipur wuyung), nyatanya sastra non-BP dalam masyarakat pribumi kala itu, tetap lebih dominan dibanding sastra tradisi BP. Pertanyaannya, jika permulaan sastra Indonesia modern misalnya, dipatok dari tradisi BP atau angkatan Pujangga Baru, cukup mewakilikah karya-karya mereka terhadap penderitaan rakyat di masa penjajahan itu?</span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Walhasil, dengan menengok dan menimbang kembali sejarah sastra Indonesia, adalah sebuah usaha mendefinisikan ulang secara riil kesusastraan dan kebudayaan Indonesia secara terus-menerus. Kapan sastra Indonesia modern ada dan mengada, semua berawal dari membaca dan menyingkap sisi lain dari sastra Indonesia itu sendiri. Hal ini juga merupakan sebuah perjuangan untuk menempatkan kembali bahasa nasional sebagai wahana menyatukan ke-bhinekaan Nusantara. Dengan begitu, kita diharapkan mampu memperjuangkan kembali cita-cita negara Indonesia; tumbuhnya kesadaran historis dan tetap bersikap kritis terhadap kemungkinan adanya rekonstruksi historisitas yang bisa jadi hanya fiktif. (*)</span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: trebuchet ms;">Misbahus Surur, <i>pembaca sastra, mahasiswa S-2 UIN Malang</i></span></div>
<div style="text-align: left;">
<i><span style="font-family: Trebuchet MS;"></span></i><br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: Trebuchet MS;">(pernah dipublikasikan<i> Jawa Pos </i>pada 18 Januari 2009)</span></div>
Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-11036538655301057762009-03-12T19:28:00.000-07:002012-12-13T10:40:55.847-08:00Simbol Abadi Pemersatu Negeri<br /><span style="font-family: trebuchet ms;"><br /><br />Judul Buku : Nusantara: Sejarah Indonesia<br />Penulis : Bernard H.M. Vlekke<br />Penerjemah : Samsudin Berlian<br />Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia<br />Cetakan : I, 2008<br />Tebal : xxiv + 528 halaman</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: trebuchet ms;"><br /><br />Di tengah geliat karya terjemahan buku-buku sejarah, misalnya The History of Java karya Thomas Stamford Raffles serta The History of Sumatra-nya William Marsden, muncullah kemudian Nusantara: A History of Indonesia (judul terjemahan: Nusantara: Sejarah Indonesia), karya indolog Bernard H. M. Vlekke, ditulis berkisar 1941-1943. Penyerangan Jepang atas pangkalan militer Amerika di Asia Pasifik (Pearl Harbor), dijadikan penandanya. Barangkali inilah trilogi historiografi terjemahan teranyar yang membincang wacana sejarah negeri ini. <br />Pemerian sejarah yang dilakukan Vlekke runtut tertata rapi. Menampilkan fragmen-fragmen sejarah masa pra-kolonial hingga sampai kedatangan bangsa kolonialis (Spanyol, Portugis, dan Belanda) di Nusantara. Tepatnya sampai tahun 1945. Porsi pembahasan pra-kolonial disoroti dengan tajam, mendedahkan begitu banyak informasi yang jarang diekpektasikan banyak orang. Mungkin karena itulah buku ini langsung dapat sambutan hangat dari para penggandrung sejarah. Sampai naik cetak ulang dan terpajang di rak buku best seller. Terlebih buku ini terasa berbobot karena penulis melampirkan data sejarah (setumpuk dokumen, buku dan arsip-arsip kuno) yang hampir sepenuhnya berasal dari luar negeri dan diakui otentisitasnya. Dengan dandanan kata dan paragraf yang menarasikan sejarah ilustratif, cantik bak dongeng.<br />Vlekke membentangkan Bab Pertama dengan deskripsi muasal manusia Indonesia dan pembentukan masyarakat kerajaan. Namun membicarakan ihwal manusia Indonesia ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Saking beragamnya ras manusia yang menyimpul di dalamnya. Menurut dua antropolog bersaudara, P. dan F. Sarasin misalnya, sebelum kedatangan moyang bangsa Indonesia yang tergabung dalam gelombang ”Proto dan Deutero-Melayu”, populasi asli kepulauan Indonesia adalah suatu ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Tetapi lambat laun setelah datangnya penghuni baru yang lebih memilih untuk menghuni daerah-daerah pesisir pantai, sisa-sisa penduduk asli ini akhirnya terdesak ke daerah pedalaman. Hal ini tentu mematahkan asumsi kebanyakan orang yang selama ini mengira moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan di daratan Tiongkok.<br />Tidak banyak memang sejarawan yang mengulas perihal sejarah Indonesia secara komprehensif. Satu dari yang sedikit itu adalah Vlekke. Untuk mengulas balik sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa, penulis tidak begitu saja mengabaikan informasi dari dua kitab sejarah teramat fenomenal yang kerap diperbincangkan dalam taman sari sejarah Nusantara. Kitab tersebut adalah Pararaton dan Negarakertagama. Dan, bisa jadi hanya dua kitab inilah yang dijadikan sumber dari dalam oleh Vlekke. Menurut Vlekke, kedua kitab tersebut bukanlah sebuah narasi sejarah murni. Karena penulisannya didasarkan atas hal-hal baik yang pernah dilakukan raja. Pendek kata, kitab itu dirancang sekadar untuk memperkuat kedudukan sang raja.<br />Menurut buku ini, Majapahit adalah sebuah model negara kesatuan di masa silam. Sumpah Amukti Palapa yang keluar dari mulut Gadjah Mada menjadi semacam simbol abadinya. Nama ”Nusantara” adalah istilah yang amat lekat dan merujuk pada periode ketika Hayam Wuruk menyatukan berbagai pulau besar dan kecil di seluruh negeri ini, di bawah naungan imperium Majapahit. Lalu, saat Nusantara tengah dijajah imperealis Belanda, ketika para pemuda dan rakyat negeri ini cukup concern mendiskusikan akar-akar kesatuan Indonesia (1908), muncullah ide bagi model persatuan yang secara historis paling sesuai dengan yang diingini untuk Indonesia hari itu. Gagasan persatuan dan kesatuan yang menandai lahirnya beberapa organisasi pemuda tersebut akhirnya jatuh pada Majapahit. Jadi, sejatinya, bukan momen historis yang bernama kolonialisme yang menyatukan bangsa ini, melainkan karena masa silamnya yang gilang-gemilang. Meskipun sempat tersebar isu panas, sebagaimana dilansir surat kabar Jawa, Bramartani –asumsi serangan Demak ke jantung imperium Majapahit yang membuat kerajaan ini rontok– (baca selanjutnya: Ricklefs, Polarising Javanese Society).<br />Datangnya Belanda telah mengkangkangi Nusantara. Dengan tamak mereka mengeruk kekayaan bumi pertiwi. Mereka juga mengacak-acak beberapa wilayah Nusantara. seperti Ternate, Makassar, Mataram, Banten hingga menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam itu menemui nasib yang tak jauh beda dari Majapahit. Bukan sekadar itu, kedatangan kolonialis Belanda telah membentangkan kidung ratap kesengsaraan manusia Indonesia lebih dari tiga abad lamanya. Misi kolonial inilah sesungguhnya yang dilawan penduduk negeri ini. Di mana-mana Belanda sengaja menyulut api peperangan, namun penduduk tak tinggal diam, mereka respons dengan perlawanan yang tak kalah sengit pula. Kesengsaraan penduduk pribumi ini makin terlihat jelas saat Belanda menerapkan sistem tanam paksa. Sebab, diakui atau tidak telah menumbalkan berjuta-juta manusia Indonesia.<br />Pada bab-bab terakhir, seperti pada Bab IX, Vlekke mengurai seputar aspek-aspek baru yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Penulis menceritakan dengan teramat detail struktur bangunan, tata kota serta keindahan-keindahannya. Tak ketinggalan, lapisan-lapisan masyarakat Belanda yang tinggal di Batavia serta ihwal kehidupan penduduk Batavia.<br />Selanjutnya pada Bab X, XI, XII, sampai Bab XII mengulas arogansi kaum penjajah, iklim politik serta gerakan-gerakan di Nusantara (Batavia) khususnya politik perdagangan dalam negeri, pengajaran, mobilitas sosial serta pertumbuhan penduduk Hindia, dari masa Herman Williem Daendels, Thomas Stamford Raffles, hingga masa gubernur jendral Johannes Van Den Bosch. Dan, pada bab-bab terakhir, baru membicarakan bibit-bibit kebangkitan bangsa dan pergerakan nasional di Nusantara.<br />Keberanian buku yang tersusun atas enam belas bab ini patut diacungi jempol, karena memasang judul Nusantara. Istilah yang kala itu bermuatan reaksioner bagi pihak Belanda. Keterkaitan periode satu dengan periode seterusnya dipaparkan dengan baik, hingga memunculkan kronik sejarah yang kaya. Membacanya, kita seperti sedang dihidangkan suguhan narasi sejarah sebuah negara besar yang membentang dari barat ke timur. Namun, karena buku ini memburu kekomprehensifan, akibatnya justru membuat pembahasannya tidak pernah tuntas. Misalnya, ketika memaparkan Aru Palakka –raja Bone– dan Kapitan Jonker –orang Ambon asli– (hlm. 183-205), yang membantu Kompeni Belanda kala itu, latar belakangnya tidak pernah diungkap secara mendetail.<br />Sebagai sebuah karya yang membincang sejarah negeri ini, Nusantara karya Vlekke ini laik untuk melengkapi minimnya karya indologi serta miskinnya pengetahuan para penikmat sejarah. Di samping itu, hadirnya buku sejarah ini sebagaimana yang diakui Luthfi Assyaukanie, telah mematahkan tesis tentang ketiadaan kaitan antara peristiwa masa lampau dengan peristiwa sekarang. Dari buku ini justru kita dapat mengetahui bahwa kejadian di masa sekarang ternyata ada kaitan erat dengan peristiwa sosial-politik di masa lampau. (*)<br />Misbahus Surur, <i>penyuka sejarah, mahasiswa pascasarjana UIN Malang</i><br /><i></i><br />(pernah dipublikasikan <i>Jawa Pos</i> pada 9 November 2008)<br /> </span>Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8902917492277884453.post-55649876220596749722009-02-20T10:21:00.000-08:002012-12-13T10:40:29.475-08:00Sastrawan, Buku, dan ImajinasiDalam dunia kepenulisan, totalitas pengarang adalah sebuah keinginan untuk tidak memenjarakan imajinasi. Lidah para sastrawan menjadi jembatan penghubung dunia imajinal ke dunia kenyataan. Keberhasilan memainkan imajinasi menjadi harga mati yang harus dipertaruhkan seorang pengarang. Tidak banyak yang bisa mengeksplorasi cerita menjadi mahakarya yang tak tertandingi. Dari yang sedikit itu, kita diperkenalkan dengan Karl May dengan seri Winnetow-nya, J.K. Rowling dengan serial sihir Harry Potter yang benar-benar menyihir. Dari dalam negeri muncul Agus Sunyoto dengan serial sufisme kontroversial, Syech Siti Jenar (Suluk 1-7), Pramoedya Ananta Toer dengan roman Tetralogi Buru-nya, dan segudang pengarang lain.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tetapi, yang lebih penting dari itu semua bukanlah karya yang dihasilkan, melainkan lika-liku dan proses panjang yang ditempuh pengarang atas hasil kepengarangannya. Proses yang dilalui pengarang sudah seharusnya menjadi perhatian utama kita. Karena ketika pembaca melihat proses pengarang, maka ia akan belajar lebih banyak dari sana. Kita juga akan tahu bahwa menulis bukanlah sebuah permainan sulap, bim salabim yang sekonyong-konyong ada menurut yang kita kehendaki. Mereka (pengarang) mengalami proses dan tahapan-tahapan yang akhirnya akan sampai pada suatu tahap akhir dari seluruh penyerahan totalitas hidupnya. Karya mereka tidaklah muncul dari arena magis atau semudah kita membalik tangan. Mereka harus melalui proses panjang yang berliku dan terjal. Perlu kesabaran, keuletan dan ketelatenan yang tinggi. Ibarat ulat yang bermula dari kepompong yang pada tahap akhirnya ia akan ber-metamorfosis menjadi kupu-kupu. Tidak berhenti di situ, seorang pengarang punya tanggung jawab besar atas apa yang ia tulis.<br />
<br />
Menurut kabar, hingga buku ketujuh ini, oplah penjualan buku Harry Potter mencapai 400 juta eksemplar dan diterjemahkan dalam 64 bahasa. Kiprah petualangan Harry Potter selama satu dasawarsa ini memang telah menyihir ruang baca anak-anak dan siapa saja. Kisahnya terus bersambung hingga sang pengarang memutuskan untuk menghentikan petualangan Harry pada seri ketujuh. Alasannya, pada awal cerita memang setting terakhir telah ditetapkan. Rowling juga ingin seperti pengarang-pengarang lain yang sering membunuh para tokoh rekaannya dengan tujuan agar tidak ada yang menulis kisah pertualangannya yang baru.<br />
<br />
Namun, di balik kisah kesuksesan sebuah buku, termasuk Harry Potter, ada saja ulah yang diperlihatkan mereka yang sinis terhadap sebuah karya monumental. Dalam bukunya Aku Ingin Bunuh Harry Potter (Dar! Mizan, November 2007), Hernowo mengungkap perdebatan hebat kalangan ortodoks yang tidak menyukai cerita Harry Potter. Kaum ortodoks Kristen menuduh Rowling mengarahkan anak-anak untuk mempercayai sihir. Dengan asumsi sihir dalam Harry Potter diduga bisa memengaruhi jiwa dan mental anak ke dalam perilaku yang tak masuk akal. Tetapi, Rowling menampik tuduhan itu. Ia menyangkal, justru novelnya itu dapat menumbuhkan kembali minat baca anak-anak, umumnya masyarakat luas. Bukan sebaliknya.<br />
<br />
Saya juga teringat dengan fenomena The Satanic Verses-nya Salman Rushdie. Novelis Pakistan keturunan India ini terpaksa harus mengasingkan diri, hidup berpindah-pindah dan rela bersembunyi demi keselamatan hidupnya selama beberapa tahun karena kontroversi novel yang ia tulis. Terutama di negaranya yang mayoritas muslim. Novel yang membuatnya meraih Whitebread Prize 1988 itu harus dibayar dengan harga mahal. Rushdie harus rela dicap kafir oleh mayoritas muslim ketika itu. Karena ia begitu berani bermain-main lewat imajinasinya dengan memasukkan sosok Nabi dalam novel yang ia tulis. Dalam novel tersebut ia dituduh telah menghina dan melecehkan Nabi. Gara-gara novel itu sampai-sampai darahnya halal alias nyawanya terancam. Pemimpin spiritual Iran, Khomeini, menghargai kepalanya dengan uang yang menggiurkan bagi siapa saja yang berhasil membunuh Rusdhie.<br />
<br />
Begitu pula apa yang dialami sederet penulis Mesir, seperti Naguib Mahfouz, Nawal El-Sadawi, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Mereka dikecam di dalam negeri karena begitu bebas dan berani bermain dengan imajinasi. Menulis dan menyibak sesuatu yang dianggap tabu oleh masyarakat, sehingga mengalami penentangan keras di mana-mana. Bahkan Nasr Hamid diusir dari negeri tempat ia lahir dan dibesarkan. Tidak berhenti di situ, ia dipaksa cerai dengan istri yang dicintainya.<br />
<br />
Tak jauh dengan pengalaman di luar negeri, di dalam negeri hal serupa juga dialami sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pram dan novelnya dituduh sebagai penyebar paham komunisme. Buku Pram mendapatkan kecaman dan juga pembrendelan di mana-mana. Ia dan genre sastranya, realisme-sosial, selalu diidentikkan dengan komunis. Dengan tuduhan inilah Pram harus menghabiskan separo hidupnya di dalam pengabnya penjara. Tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun pada masa Orde Lama dan 14 tahun dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan oleh rezim Orde Baru.<br />
<br />
Tetapi, walau begitu, karya sastra terus ditulis dan dipublikasikan sampai suatu saat nanti ajal menjemput mereka. Karya mereka akan tetap eksis dan hidup di hati para pembaca. Bagi mereka, kemerdekaan berpikir adalah hak asasi yang tak bisa dirampas dan dikekang, bahkan oleh penguasa sekalipun. Oleh karena itu, lebih dari sekadar menulis, saya yakin sesungguhnya yang mereka lakukan jauh dari hal main-main. Tulisan mereka hadir karena gerak jiwa dan keteguhan sikap dalam merespons ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sekeliling mereka. Misi mulia ini seharusnya selalu ada, hidup di hati dan senantiasa memperteguh jiwa para penulis. Saya jadi teringat kata-kata sang Hujjatul Islam, Al-Gazali: “Jika engkau bukanlah anak raja juga bukan anak ulama’ besar, maka jadilah penulis.” (*)<br />
<br />
Oleh Misbahus Surur<br />
<br />
(pernah dipublikasikan Jawa Pos pada September 2008)Misbahus Sururhttp://www.blogger.com/profile/05623787894359887228noreply@blogger.com0