Friday, February 20, 2009

Sastrawan, Buku, dan Imajinasi

Dalam dunia kepenulisan, totalitas pengarang adalah sebuah keinginan untuk tidak memenjarakan imajinasi. Lidah para sastrawan menjadi jembatan penghubung dunia imajinal ke dunia kenyataan. Keberhasilan memainkan imajinasi menjadi harga mati yang harus dipertaruhkan seorang pengarang. Tidak banyak yang bisa mengeksplorasi cerita menjadi mahakarya yang tak tertandingi. Dari yang sedikit itu, kita diperkenalkan dengan Karl May dengan seri Winnetow-nya, J.K. Rowling dengan serial sihir Harry Potter yang benar-benar menyihir. Dari dalam negeri muncul Agus Sunyoto dengan serial sufisme kontroversial, Syech Siti Jenar (Suluk 1-7), Pramoedya Ananta Toer dengan roman Tetralogi Buru-nya, dan segudang pengarang lain.


Tetapi, yang lebih penting dari itu semua bukanlah karya yang dihasilkan, melainkan lika-liku dan proses panjang yang ditempuh pengarang atas hasil kepengarangannya. Proses yang dilalui pengarang sudah seharusnya menjadi perhatian utama kita. Karena ketika pembaca melihat proses pengarang, maka ia akan belajar lebih banyak dari sana. Kita juga akan tahu bahwa menulis bukanlah sebuah permainan sulap, bim salabim yang sekonyong-konyong ada menurut yang kita kehendaki. Mereka (pengarang) mengalami proses dan tahapan-tahapan yang akhirnya akan sampai pada suatu tahap akhir dari seluruh penyerahan totalitas hidupnya. Karya mereka tidaklah muncul dari arena magis atau semudah kita membalik tangan. Mereka harus melalui proses panjang yang berliku dan terjal. Perlu kesabaran, keuletan dan ketelatenan yang tinggi. Ibarat ulat yang bermula dari kepompong yang pada tahap akhirnya ia akan ber-metamorfosis menjadi kupu-kupu. Tidak berhenti di situ, seorang pengarang punya tanggung jawab besar atas apa yang ia tulis.

Menurut kabar, hingga buku ketujuh ini, oplah penjualan buku Harry Potter mencapai 400 juta eksemplar dan diterjemahkan dalam 64 bahasa. Kiprah petualangan Harry Potter selama satu dasawarsa ini memang telah menyihir ruang baca anak-anak dan siapa saja. Kisahnya terus bersambung hingga sang pengarang memutuskan untuk menghentikan petualangan Harry pada seri ketujuh. Alasannya, pada awal cerita memang setting terakhir telah ditetapkan. Rowling juga ingin seperti pengarang-pengarang lain yang sering membunuh para tokoh rekaannya dengan tujuan agar tidak ada yang menulis kisah pertualangannya yang baru.

Namun, di balik kisah kesuksesan sebuah buku, termasuk Harry Potter, ada saja ulah yang diperlihatkan mereka yang sinis terhadap sebuah karya monumental. Dalam bukunya Aku Ingin Bunuh Harry Potter (Dar! Mizan, November 2007), Hernowo mengungkap perdebatan hebat kalangan ortodoks yang tidak menyukai cerita Harry Potter. Kaum ortodoks Kristen menuduh Rowling mengarahkan anak-anak untuk mempercayai sihir. Dengan asumsi sihir dalam Harry Potter diduga bisa memengaruhi jiwa dan mental anak ke dalam perilaku yang tak masuk akal. Tetapi, Rowling menampik tuduhan itu. Ia menyangkal, justru novelnya itu dapat menumbuhkan kembali minat baca anak-anak, umumnya masyarakat luas. Bukan sebaliknya.

Saya juga teringat dengan fenomena The Satanic Verses-nya Salman Rushdie. Novelis Pakistan keturunan India ini terpaksa harus mengasingkan diri, hidup berpindah-pindah dan rela bersembunyi demi keselamatan hidupnya selama beberapa tahun karena kontroversi novel yang ia tulis. Terutama di negaranya yang mayoritas muslim. Novel yang membuatnya meraih Whitebread Prize 1988 itu harus dibayar dengan harga mahal. Rushdie harus rela dicap kafir oleh mayoritas muslim ketika itu. Karena ia begitu berani bermain-main lewat imajinasinya dengan memasukkan sosok Nabi dalam novel yang ia tulis. Dalam novel tersebut ia dituduh telah menghina dan melecehkan Nabi. Gara-gara novel itu sampai-sampai darahnya halal alias nyawanya terancam. Pemimpin spiritual Iran, Khomeini, menghargai kepalanya dengan uang yang menggiurkan bagi siapa saja yang berhasil membunuh Rusdhie.

Begitu pula apa yang dialami sederet penulis Mesir, seperti Naguib Mahfouz, Nawal El-Sadawi, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Mereka dikecam di dalam negeri karena begitu bebas dan berani bermain dengan imajinasi. Menulis dan menyibak sesuatu yang dianggap tabu oleh masyarakat, sehingga mengalami penentangan keras di mana-mana. Bahkan Nasr Hamid diusir dari negeri tempat ia lahir dan dibesarkan. Tidak berhenti di situ, ia dipaksa cerai dengan istri yang dicintainya.

Tak jauh dengan pengalaman di luar negeri, di dalam negeri hal serupa juga dialami sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Pram dan novelnya dituduh sebagai penyebar paham komunisme. Buku Pram mendapatkan kecaman dan juga pembrendelan di mana-mana. Ia dan genre sastranya, realisme-sosial, selalu diidentikkan dengan komunis. Dengan tuduhan inilah Pram harus menghabiskan separo hidupnya di dalam pengabnya penjara. Tiga tahun dalam penjara kolonial, satu tahun pada masa Orde Lama dan 14 tahun dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan oleh rezim Orde Baru.

Tetapi, walau begitu, karya sastra terus ditulis dan dipublikasikan sampai suatu saat nanti ajal menjemput mereka. Karya mereka akan tetap eksis dan hidup di hati para pembaca. Bagi mereka, kemerdekaan berpikir adalah hak asasi yang tak bisa dirampas dan dikekang, bahkan oleh penguasa sekalipun. Oleh karena itu, lebih dari sekadar menulis, saya yakin sesungguhnya yang mereka lakukan jauh dari hal main-main. Tulisan mereka hadir karena gerak jiwa dan keteguhan sikap dalam merespons ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sekeliling mereka. Misi mulia ini seharusnya selalu ada, hidup di hati dan senantiasa memperteguh jiwa para penulis. Saya jadi teringat kata-kata sang Hujjatul Islam, Al-Gazali: “Jika engkau bukanlah anak raja juga bukan anak ulama’ besar, maka jadilah penulis.” (*)

Oleh Misbahus Surur

(pernah dipublikasikan Jawa Pos pada September 2008)

No comments: