Tuesday, April 7, 2009

Jalan Terjal Bung Kecil


Jalan diplomasi rupanya bagi sebagian orang masih bisa menyisakan celah pincang. Bahkan dalam rentang sejarah bangsa ini, ada beberapa tokoh yang antipati dan menentang habis-habisan jalan atau cara-cara seperti itu. Sebut saja, salah satunya dan yang paling keras adalah Tan Malaka. Dalam skala besar mencapai kemerdekaan negeri ini, ia adalah sosok yang sangat anti pada cara-cara diplomasi, kooperatif atau jalan persuasif semacamnya. Mengenai jalan yang ditempuhnya itu, Tan telah menunjukkan dirinya sebagai tipikal manusia yang anti imperialisme murni. Ia pernah berujar: “Bangsa Indonesia yang sejati belum punya riwayat sendiri selain perbudakan.


Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum imperialis”. Beberapa buah pikirannya mengenai langkah-langkah jitu mencapai kemerdekaan negeri ini, telah ia rangkum dan terdokumentasikan secara apik dalam buku, semisal “Merdeka 100%” dan ”Naar de Republiek Indonesia”. Namun berbeda dengan Tan, Sutan Sjahrir punya cara sendiri untuk menggapai revolusi negerinya. Meskipun peran Bung kecil ini, --demikian dulu ia akrab disapa (mungkin karena ukuran badannya yang terlampau mungil), dalam panggung sejarah, sering disiniskan tokoh-tokoh seangkatannya.

Sjahrir adalah sosok dengan seabrek ide-ide brilian yang seringkali dinilai paradoksal dan melawan arus. Seolah tak sejalan dengan cara-cara dan berbagai usaha perjuangan tokoh-tokoh sezamannya. Bisa jadi, ini berkait dengan pengaruh pendidikan Belanda yang dienyamnya, begitu pula beberapa organisasi pergerakan yang pernah diikutinya. Karena bagaimanapun, pendidikan ala Leiden yang telah ia raih itu, meskipun tak selesai, sedikit banyak telah mem-Baratkan gagasan-gagasannya. Sebagaimana kata teman politiknya, Salomon Tas, yang juga ketua perkumpulan mahasiswa sosial Amsterdam, saat itu: ”Kepribadian Sjahrir telah berkembang dalam iklim Barat”.

Seluk beluk serta pergaulan luasnya dengan beberapa organ kiri di Belanda seperti misalnya, lingkungan mahasiswa sosial ASDSC (Amsterdam Sociaal Democratische Studenten Club) dan partai sosialis SDAP (Social Democratische Arbeider Partij) yang dikomodori Sneevlit, tak pelak membikinnya tahu siasat apa dan cara bagaimana yang harus ia lakukan untuk melawan bangsa kolonialis Belanda. Kendati bagi sebagian orang nantinya, kerap pula langkah-langkah perjuangannya itu dicap lembek dan terlampau elitis. Pengalaman politiknya dalam partai-partai sosialis, semacam SDAP, dalam kadar tertentu sangat berpengaruh besar pada gerakan politik Sjahrir. Kalau ditelisik dalam panggung sejarah Indonesia, partai inipun (baca: SDAP) ternyata ikut menyumbang gagasan lahirnya kebijakan baru Belanda di tanah Hindia, yakni ”Politik Etis” tahun 1895. Menggantikan kebijakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang dinilai sangat menyengsarakan rakyat. Meskipun dalam beberapa hal, kebijakan etis itu tak terlalu signifikan menanggulangi penderitaan rakyat negeri jajahan.

Sebenarnya ada beberapa pemikiran yang membikin Sjahrir menjadi seperti itu. Semuanya berangkat dari kecintaannya pada negeri ini. Misalnya, ketika mengambil sebuah tesis -yang nantinya berpengaruh besar pada tiap-tiap kebijakan yang akan ia ambil-, khususnya saat ia menjabat sebagai perdana menteri. Sedikit banyak ia memperhatikan perkembangan dunia luar, seperti iklim perpolitikan di Eropa dan Asia. Ia berpendapat bahwa nasion itu harus ditempatkan sejajar lebih tinggi dan lebih penting dari sebuah pribadi-pribadi (individualisme). Di sini, Sjahrir tak menafikan bahwa tiap negara adalah sarang bagi tumbuh kembangnya individualisme. Tentang nasionalisme, Sjahrir punya pemikiran yang lebih universal dari Soekarno. Jika Soekarno memaknai nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme yang khas dengan kepribadian Timur, Sjahrir punya pendapat lain. Menurut Sjahrir, nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara kolonialis dan inlander (de projectie van het inferioriteits-complex, 10 hlm. 178, dalam Daniel Dhakidae, 2009). Dalam arti yang agak lugas, nasionalisme juga dimaknai Sjahrir sebagai lahan laten berkembangnya bibit keserakahan dan nafsu berkuasa.

Garis politik Sjahrir ini tercermin lewat beberapa buku. Misalnya dalam buku ”Renungan dan Perjuangan”, ia melontarkan kritik tajam terhadap politik moral para pemimpin saat itu. Ia mengatakan: ”Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi”. Sjahrir juga meyakini, persekutuan nasionalisme dengan individu dapat menghasilkan anak haram otoritarianisme. Karena itu, ia berharap nasionalisme harus tunduk pada sesuatu yang membuatnya tidak otoritarianis, totalitaris, diktatoris dan seterusnya.

Langkah-langkah yang selanjutnya terlihat sangat kontroversial dari Sjahrir dalam memainkan keyakinannya ini, misalnya adalah pada perundingan Linggarjati. Perundingan yang ia ikhtiarkan sebagai batu loncatan menuju tangga revolusi dan kemerdekaan Indonesia itu, dinilai banyak pihak sangat merugikan Indonesia. Kendati sesungguhnya manfaat itu baru bisa dirasakan setelah itu, ketika diteliti dan diapresiasi pada saat-saat sekarang ini. Manfaat itu dalam skala global misalnya, bergeraknya persoalan Indonesia ke ranah internasional ketika sebelumnya masih menjadi persoalan lokal (berkutat pada masalah intern Indonesia dengan negeri penjajah, Belanda).

Namun, beberapa langkah Sjahrir ini, khususnya bagi kaum revolusioner radikal atau kaum muda yang militan yang tak searus kerap menuai kecaman, dipandang sebagai langkah lemah yang kalah, menggadaikan negara bahkan sama sekali tak mencerminkan irama dan watak perjuangan saat itu. Terlepas dari itu, langkah ini (baca: menerjang mainstream), bagi Sjahrir dan kaum moderat yang sefaham, menjadi langkah taktis, yang selain tidak biasa tentu bukan sama sekali tanpa perhitungan.

Dus, kendati keberbedaan perjuangan itu tak terpungkiri meniscayakan keragaman cara & langkah, namun dalam kadar tertentu punya titik temu; mengabdi pada rakyat dan mencapai Indonesia merdeka 100 %. Karena itu, bagaimanapun langkah serta gagasan perjuangan tokoh bangsa kita waktu itu, seperti Sjahrir dan tokoh-tokoh lain semisal Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Amir Sjarifoeddin, dan seterusnya, saat ini sungguh layak diteladani, lebih-lebih oleh para pemimpin kita dewasa ini, sebagai langkah adiluhung yang punya preferensi jelas untuk menjawab kondisi sosial rakyat Indonesia saat itu. Karena itu, memperingati 100 tahun Sutan Sjahrir, memaklumkan ingatan panjang akan retas sebuah watak perjuangan hibrida dan nilai kehidupan organik.

Toh meskipun di antara mereka (para tokoh itu), banyak yang berbeda dan berseberang jalan, nyatanya mereka punya niatan tulus memberikan sepenuh perjuangan dan pengabdian demi cintanya terhadap bangsa dan negara. Dan terlepas dari kelebihan serta kelemahan masing-masing, mereka adalah sosok yang meletakkan bangunan pikiran-pikirannya dengan fondasi berbagai masalah sosial bangsa & sengkarutnya. Lantas bagaimana dengan pemimpin-pemimpin bangsa serta para calon wakil rakyat kita saat ini? Sudahkah mereka merujuk pada alur hidup tokoh-tokoh bangsa itu. Adakah mereka telah benar-benar berkiblat pada gerak para Founding Father tersebut?

Oleh: Misbahus Surur, penghayat sejarah

No comments: