Tuesday, April 7, 2009

Lekra (Meng)gugat Sejarahnya


Judul Buku : Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis : Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Merakesumba, Jogjakarta
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 584 halaman



Beragam fakta yang terbuka sumbatnya saat ini, tak ubahnya korban dari pemberangusan dan usaha penghilangan jejak sejarah di masa lampau. Beberapa gerakan yang sebenarnya dulu punya peran-peran besar menghantarkan arah demokrasi dan berkebudayaan demi memajukan masyarakat bangsa dan negara ke arah yang lebih baik; lepas dari belenggu kolonialisme senyatanya, kerap kena telikung dan agitasi negatif. Bahkan ibarat ajaran sesat, ia harus dipetimatikan dan digembok dari luar, biar tidak ada orang yang tahu tentangnya, apalagi coba-coba meminatinya kembali. Ulah seperti ini merupakan upaya-upaya licik menjauhkan bahkan mengamnesiakan masyarakat terhadap sejarah. Ingatan kita seakan ditekan, lalu dijauhkan dari fakta yang sebenarnya. Pelekatan nama angker dan stigma buruk zaman orde baru itu, bagai hal lumrah yang mesti diterima.

Pada era-era ketika Republik ini masih bayi, kendati bangsa ini telah meraih citanya-citanya; mencapai kemerdekaan yang diimpi-impikan sudah sejak lama. Sesungguhnya Indonesia belumlah lepas betul dari cengkeraman kuku ideologi imporan penjajah. Terbukti di era itu, virus imperialisme, kolonialisme serta feodalisme tak lelah-lelah menggerogoti dan menginfeksi Republik baru, Indonesia. Ruh ideologi imporan itu terus berkamuflase, seakan dengan model yang pada dasarnya sama ia mencipta dalam berbagai versi baru yang berbeda. Saat itu, secara hukum internasional, Indonesia telah merdeka, namun kuku kolonialisme, imperialisme serta feodalisme masih keberatan melepas seluruh cengkeramannya.

Saat ambruknya demokrasi parlementer, tak seorangpun tahu seperti apa bentuk pemerintahan yang akan datang. Sampai diambillah sebuah kebijakan baru oleh presiden Soekarno. Era itu diberi nama era ”Demokrasi Terpimpin” (1957-1965). Bentuk pemerintahan ini diambil tersebab terus berlanjutnya masa-masa krisis berkebangsaan. Dalam sejarah tercatat, era ini sebagai era paling kacau pasca revolusi 1945. Proses revolusi tertahan oleh prahara-prahara dan sengketa politik di dalam negeri.

Di era itu, garis politik negara mengkredokan Manifesto Politik (Manipol). Dalam berbagai ranah segalanya mesti ditujukan untuk mengabdi pada revolusi yang belum selesai. Tak terkecuali dalam lapangan berkebudayaan, sikap berkebudayaan dan berkesenian harus diarahkan pada arus untuk mengabdi pada masyarakat: “Seni untuk rakyat” dan “Politik sebagai panglima”. Pada era-era berat inilah panggung kebudayaan dikuasai oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat). Karena itu, lembaga kebudayaan ini tercatat sebagai yang paling responsif terhadap bahaya laten musuh-musuh revolusi.

Dengan ikhtiar memayungi setiap laku kebudayaan bangsanya pada mazhab realisme sosial, para sastrawan Lekra ini dalam laku kesenian menganjurkan kembali ke basis, dalam artian, kembali ke jalur tradisi revolusioner; “Mendobrak pendjadjahan dari segala segi jang mungkin”. Sebuah garis revolusi kebudayaan yang ditarik dan dirumuskan dari seorang sastrawan revolusioner klasik Nusantara, Abdullah bin Abdulkadir Munsji (1796-1854). Dengan tetap menjunjung tinggi kredo kebudayaan bukan semata konsumsi kaum suka hibur, demi pemenuhan nafsu kesenangan yang tanpa batas, tetapi harus diabdikan sepenuhnya untuk rakyat dan tujuan revolusi yang masih bayi. Harapan berkesenian mereka adalah seni tidak sekadar tempat menuangkan keindahan, namun seni dan sastra harus dapat mengabdi. Menjadi sarana, bahkan alat politik untuk mengurai ketimpangan sosial.

Karena tugas dan misi yang diemban pekerja budaya seperti ini diklaim menyimpang dari watak sastra dan pakem berkebudayaan. Terjadilah geger budaya di era itu. Misi dan sikap berkebudayaan seperti itu banyak menuai penentangan-penentangan keras kubu Manifestan. Yakni kelompok yang berseberangan dengan watak ideologi Lekra. Inilah yang terjadi di panggung budaya era 60-an. Para seniman-sastrawan yang tak sekata dengan ideologi anutan Lekra ini berpolemik panjang hingga berlarut-larut.

Namun saat tumbangnya Orde Lama dan tampilnya Orde Baru, Lekra dianggap sebagai tukang bikin kisruh, tukang ganyang buku dan pembuat onar. Lekra memang dilahirkan dari rahim para manusia yang mayoritas adalah orang-orang dengan ideologi kiri; Sosialis-Komunis. Kendati begitu, dalam penelusuran buku ini, Lekra bukanlah underbow dari partai yang pada zamannya Soeharto dicap terlarang itu. Lekra secara geneologi faham berkebudayaan bertali-temali dengan mazhab realisme sosialis ala Maxim Gorky, sedang dalam keterkaitan ideologi berkiblat pada Marxis-Leninis. Tak dimungkiri pula bila lembaga ini dalam garis perjuangannya memang searah dengan garis politik PKI. Pun sebagian besar pekerja budayanya juga adalah organ-organ komunis. Namun betulkah waktu itu mereka mengebiri kebebasan mencipta kubu manifes? Bagaimana sebenarnya? Jawabannya akan kita temukan dalam esai panjang ini.

Buku ini tersusun melalui jejak rekam sumber tunggal, rubrik budaya koran Harian Rakjat yang hidup sepanjang tahun 1950-1965. Dan dapat terwujud berkat kerja kreatif dan telaten tak kenal lelah, dua orang penulis muda yang juga kerani di Indonesia Buku (I: BOEKOE). Penulis memanfaatkan secara intensif lembar-lembar kebudayaan Harian Rakjat yang tertimbun sekitar 30-an tahun, dari ruang terlarang sebuah perpustakaan di Jogjakarta. Namun tidak mudah, untuk meriset koran terlarang itu mereka harus minta izin secara persuasif pada para penjaga pustaka, lantas menyeleksi 15 ribuan artikel budaya dengan cepat, sebab katanya mereka harus balapan dengan rayap rakus kelaparan, yang juga berminat menyantap koran-koran usang bersejarah itu. Dan dengan memakan waktu sekitar 1,5 tahun, siang malam, akhirnya dapat mereka rampungkan.

Barangkali inilah sebuah buku hasil riset pertama tentang sebuah lembaga kebudayaan (Lekra) terlengkap, yang merekam hiruk pikuk laku kebudayaan era Demokrasi Terpimpin. Buku ini seolah menjadi antitesis bagi tuduhan-tuduhan yang sudah kadung melekat ke Lekra. Misalnya, dalam buku Prahara Budaya (1995) yang dieditori Taufik Ismail & DS Moeljanto, Lekra kena tuduh terlibat perilaku vandalisme membakari buku-buku berbau USIS (sebuah kantor informasi milik Amerika) dan penyebab dilarangnya buku-buku karya sastrawan Manifes. Buku ini hendak menjawab kritik pedas itu. Namun untuk mendapatkan suatu informasi yang tak sepihak, dan agar dapat mendalami kekisruhan itu secara proporsional, kiranya layak pula kita baca lagi buku-buku yang juga merekam perpolitikan di era yang kata Syafi’i Ma’arif sarat gesekan itu. Misalnya seperti, Kesusastraan dan Kekuasaan-nya Goenawan Mohamad (1993), beberapa buku & esai HB Jassin serta Muchtar Lubis, dan terutama informasi dari buku Social Commitment in Literature and the Arts: the Indonesian ”Institute of People’s Culture” 1950-1965 (1986) karya Keith Foulcher.

Buku ini sangat layak diapresiasi. Namun karena penulisnya keburu bangkrut secara ekonomi (tanpa bekingan dana), --seperti yang telah mereka akui di milis-milis. Sedang buku ini belum sempat beroleh seorang penyunting. Tak heran bila di sana sini nantinya, akan kita temukan beberapa kesalahan juga kejanggalan redaksional yang (serba mungkin juga) dapat mempengaruhi substansi sejarah yang dimuatnya. Sedikit kekurangannya lagi, seperti huruf yang terlalu kecil, pemakaian kertas yang berkualitas rendah di mata, sungguh sangat disayangkan untuk ukuran buku yang mendokumentasikan sejarah Lekra. Kendati begitu, semua kesalahan tadi kiranya tetap tak dapat mengurangi besarnya informasi sejarah serta komplitnya ulasan dalam buku ini.

Oleh: Misbahus Surur, pegiat buku, tinggal di Malang

No comments: